***
"Kapan nikah, Lin?"
Orlin yang hendak memasukkan potongan buah ke dalam mulutnya otomatis berhenti. Dia menatap salah satu tantenya yang baru saja datang ke meja makan sambil membawa lauk. Hanya menatap, karena setelahnya dia kembali melanjutkan memakan salad buahnya.
"Calon masih belum ada? Di umur kamu yang sekarang seharusnya kamu udah berumah tangga, loh." Seolah tidak peduli dengan keengganan Orlin, tantenya terus berbicara, sementara tangannya bergerak menyiapkan makan malam.
"Waktu seumuran kamu, tante malah udah punya Eka. Kamu nikahnya jangan tua banget, Lin, kasihan sel telur kamu nanti jadi busuk. Yang susah kamu sama suami juga." Orlin mengeratkan genggamannya pada garpu, tapi dia masih mencoba untuk abai.
"Liat sepupu-sepupu kamu yang lain. Udah pada nikah, ada juga yang udah punya anak. Takutnya, ya, kalau kamu enggak segera nikah, kamu bakal jadi perawan tua karena nggak ada yang mau."
Cukup! Kesabaran Orlin sudah habis. Dia meletakkan garpu di piring cukup keras, menimbulkan suara berdenting yang membuat seluruh tatapan tertuju padanya, termasuk si tante.
Orlin menghela napas berat, lalu tersenyum paksa. "Tante, makasih banget atas wejangannya. Tapi nikah itu nggak cuma perlu kesiapan mental. Kesiapan finansial juga dibutuhkan. Tante mau, biayain full pernikahan aku? Kalau mau, aku nikah hari ini juga."
"Orlin, jangan begitu kamu sama orang tua!" tegur salah satu omnya.
"Tapi, Om—"
Orlin merasakan tangannya diremas. Dia menoleh, dan mendapati ibunya yang menggeleng pelan, memberi isyarat untuk tidak mengindahkan kata-kata mereka. Namun, sungguh. Orlin bukan perempuan yang memiliki kesabaran seperti ibu peri. Dia juga bisa marah kalau diusik. Apalagi ini bukan yang pertama kalinya, setiap kali dia ikut ke pertemuan keluarga, topik yang akan diangkat selalu berkaitan dengan dirinya yang tidak kunjung menikah.
Kalau sekali atau dua kali, baiklah. Orlin masih bisa terima. Mungkin itu adalah salah satu bentuk kepedulian mereka terhadap Orlin yang pernah dikhianati oleh mantannya. Hanya saja, semakin didiamkan, mereka malah semakin semena-mena. Bahkan, tidak jarang mereka akan menyodorkan beberapa calon yang katanya adalah suami potensial untuknya.
Padahal, ibunya santai-santai saja. Kenapa justru pihak luar yang lebih belingsatan seperti cacing? Heran.
"Tante bilangin kamu karena tante sayang sama kamu. Kalau bukan tante yang peduli, siapa lagi? Ibu kamu cuek banget, kayak nggak masalah banget kalau kamu jadi perawan tua." Ternyata, tantenya masih belum mengerti, atau mungkin memang tidak mau mengerti kalau Orlin benar-benar sudah muak.
"Umur aku dua puluh empat, bukan empat puluh tahun. Aku masih sehat dan bugar, jadi Tante nggak usah khawatir dengan siapa aku bakal nikah. Jodoh nggak akan ketuker. Belum tentu yang nikah muda bakal bahagia selamanya, dan yang terlambat nikah bakal berakhir dengan perpisahan."
Orlin mendorong kursinya lalu bangkit. Dia mendengus saat menyadari kalau semua penghuni meja makan hanya diam, seperti biasa. Berpura-pura tuli di depannya padahal di belakang ikut membicarakan.
"Aku pamit. Pekerjaanku lebih penting daripada bergosip dengan alasan pertemuan keluarga."
Bukannya tidak sopan, tapi siapa yang akan betah berlama-lama ada di sana? Kalau bukan karena ibunya yang memohon, Orlin ogah untuk datang. Lebih baik dia rebahan di kamar sambil menonton sinetron yang jalan ceritanya sangat mirip dengan drama keluarganya.
***
To be continued.
20 Juni 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
As Soon As Possible (Segera Terbit)
RomancePertemuan antara Orlin Aqila-seorang staf administrasi-dengan Deanka Elgis Pradipta-seorang design perhiasan-terjadi ketika Orlin tidak sengaja menemukan kalung berliontin bintang ketika pulang kerja. Dari sana, Orlin mengetahui kalau kalung terseb...