THE BEGINNING

23 1 0
                                    

Hidup adalah perjalanan. Perjalanan yang ditempuh tanpa kita tahu kapan akan berakhir. Kita hanya terus berjalan dengan rintangan dan cobaan yang menghadang. Ada yang berjalan tertatih, ada yang terus berjalan, dan ada yang mencoba berdamai dan menikmati semua rintangan dalam hidup. Tetapi itulah hidup. Dia memberimu pilihan untuk terus berjalan atau mengakhirinya secara perlahan. Rahasia pun membentang di jalan ini. Sesuatu yang tidak terduga menanti dan mengantarkan ke pada kita tanpa kita pernah tahu kapan. Kita menempuh jalan ini karena ini adalah kehidupan.


"Reynnn!!!"

Seorang wanita setengah berlari menghampiri Reyn. Dia kemudian memeluk Reyn.

"E..e...eh... kenapa ini?" Reyn gelagapan.

Wanita itu menangis tersedu. Di belakang wanita itu beberapa rekan kerja Reyn juga sudah berkumpul.

"Kenapa harus resign sih, Reyn? Ada apa?" Fiona, wanita yang memeluk Reyn, bertanya dengan air mata yang sudah mengalir. Dia melepas pelukan Reyn.

"E..eh..eh... siapa yang resign?" tanya Reyn pura-pura keheranan.

"Reyn, kita sudah tau beritanya. Fiona mencuri dengar saat lewat ruangan Pak Indra." seorang wanita bertubuh ramping berbicara. Annika.

Reyn tak bisa mengelak lagi. Wajahnya berusaha keras menahan sedih. Dia menampilkan seulas senyum di wajah nya.

"Benar, Reyn?" Gilbert, teman Reyn lainnya, maju ke depan.

Reyn menatap matanya. Rasanya ingin mengatakan tidak tetapi dia sudah membuat keputusan. Teman-teman yang ada di hadapannya adalah sahabat terbaik Reyn selama bekerja di kantor ini. Fiona, Annika, Gilbert, Cella, Andy, Alvin, adalah mereka yang selalu menemani Reyn dalam keadaan suka maupun duka. Persahabatan yang telah mereka jalin sejak hari pertama mereka berada di kantor milik Pak Indra.

Reyn mengangguk dengan berat hati. Teman-temannya langsung menghambur memeluk Reyn. Reyn berusaha sekuat tenaga tidak meneteskan air mata. Fiona, Annika dan Cella sesegukan. 

"Kenapa Reyn?" Alvin maju berbicara. 

"Siang ini aku traktir kalian makan siang di cafe lantai bawah, ya. Nanti aku ceritakan. Aku harus keluar sebentar untuk mengurus beberapa dokumen." Reyn menampilkan senyum lebarnya dan berusaha untuk tegar.

Teman-temannya menyetujui. Masing-masing memberikan Reyn satu pelukan untuk kemudian kembali ke tempat masing-masing.

Reyn berjalan gontai keluar kantornya. Hal paling menyedihkan dari keputusan ini adalah berpisah dengan teman-temannya. Dia akan merindukan masa-masa bersama teman-teman kantornya itu untuk waktu yang lama. Tetapi hidup itu hanya ada dulu pilihan, pertemuan dan perpisahan. Kita harus memilih tanpa ada waktu untuk mencari alternatif lain.

Reyn keluar dari elevator. Dia menampik setetes air mata yang nyaris jatuh.

***

"Reyn, kapan kamu akan menemui Daddy?"

Suara di seberang telepon itu membuat Reyn terasa gusar. Reyn tidak menjawab.

"Mbak Anne tahu ini berat buat kamu Reyn, tetapi dia daddy mu, khan? Tak ada manusia yang berbuat salah Reyn. Apakah kamu perlu waktu lagi untuk berdamai dengan hatimu?" suara Mbak Anne semakin membuat Reyn gusar.

Daddy. Sudah hampir setahun Reyn tidak bertemu dan berkomunikasi dengannya. Sejak...

"Maafkan Mbak Anne ya, Reyn, jika sedikit memaksamu. Mbak Anne tidak ingin kamu hidup dalam penyesalan untuk kedua kalinya. Mbak Anne memang bukan siapa-siapa, tetapi Mbak Anne dan Mas Reno peduli padamu. Mbak Anne pernah berada di posisimu saat tidak bisa berdamai dengan Ibu Mbak Anne. Dan Mbak Anne menyesal. Sampai saat ini pun Mbak Anne harus terus berdamai dengan rasa penyesalan ini. Mbak Anne tidak ingin hal ini terjadi padamu. Kamu satu-satunya adik yang Mbak Anne miliki sekarang ini. Mbak Anne tidak ingin melihatmu hidup dalam rasa penyesalan dan dendam."

Suara Mbak Anne membuat Reyn meneteskan air matanya. Dialah wanita satu-satu nya yang saat ini selalu bisa menasehati Reyn. Walaupun Mbak Anne hanyalah istri dari Mas Reno, kakak dari Reyn.

"Semoga yang terbaik untukmu ya, Reyn. We love you." 

Sambungan telepon terhenti. Reyn meletakkan ponselnya di atas meja. Tak sengaja dia melihat foto keluarganya saat berlibur di Yogyakarta. Daddy, Mas Reno, Mama, dan... Mas Liam. 

Jika saja dia bisa membalikkan waktu, dia ingin kembali saat liburan ini berlangsung. Dia ingin bersama keluarganya lebih lama. Tetapi... semua telah terjadi. Air mata Reyn turun semakin banyak. Lalu dia berjalan menuju balkon apartemennya untuk duduk dan meletakkan kedua lengannya di lutut dan menangis lebih kencang.

***

Makan siang itu tidak sama seperti biasanya. Hari-hari sebelumnya mereka banyak tertawa, bercerita tentang gossip terkini, bersenda gurau dan lainnya, sekarang semuanya terdiam menatap Reyn. 

Mata Fiona, Cella dan Annika bengkak karena menangis. Alvin, Gilbert, dan Andy enggan tersenyum. Bahkan Andy yang terkenal humoris sudah hampir meneteskan air mata.

"Aku ingin memulai perjalananku. Perjalanan yang hanya bisa kulalui sendiri. Memang terasa berat berpisah dengan kalian, tetapi .... " Reyn berhenti sejenak menelan ludah. Dia menguatkan dirinya. "Hidup harus memilih." air mata menetes.

Para wanita mulai terdengar terisak lagi. 

"Aku akan selalu mengingat kalian. Kita masih bisa berhubungan lewat WA, khan? Bagiku kalian adalah keluarga keduaku yang sangat hangat. Yang menolongku dalam keadaan tersulit. Aku... tak akan bisa sejauh ini tanpa kalian. Terima kasih."

Reyn berdiri dan membungkkan tubuhnya sejenak. Kemudian dia bangkit lagi dan memaksa seulas senyum lebar. Dia sangat berusaha menahan air matanya, tetapi air mata itu tumpah juga dalam senyum yang terasa getir. It's hard!

Teman-temannya berdiri dan memeluk Reyn. Suasana berubah menjadi penuh tangisan. Momen yang selama ini tidak pernah mereka rasakan.

Pertemuan itu pada dasarnya memaksa kita untuk bertemu dengan perpisahan. Tak ada pertemuan tanpa perpisahan. Keduanya datang bersamaan. Dimulai dengan kebahagiaan dan berakhir dengan air mata. 

***

THE JOURNEYWhere stories live. Discover now