27 : Memendam Masalah

404 121 51
                                    


Jeongguk

Jemari Jeongguk bergetar waktu mendaratkan satu pion di atas lembar kertas yang ia buat sendiri. Sekarang, ia sebisa mungkin menjauhkan diri dari Singasari dulu. Situasi sudah semakin runyam. Ia cuma butuh istirahat barang sejenak. Capai dengan rutinitas yang tidak ada habisnya. Mengikis kinerja otak yang semula penuh dengan kode-kode guna menuntaskan deadline.

Beberapa hari Jeongguk bercakap dengan ibunya. Meminta petunjuk. Bagaimana kiranya kalau ada di posisi Jeongguk sekarang. Ingin dengar masukan dari orang yang sudah pengalaman. Ibunya cuma bilang untuk jaga ketenangan batin. Jangan sampai goyah dan menyebabkan setiap pergerakannya jadi terbatas. Dikelabui oleh rasa dendam yang mengendap. Wanita itu berkali-kali bilang kalau selama prasasti Singasari masih tersisa, Jeongguk masih bisa bernapas. Tanpa sesak atau dibayang-bayangi kalau Singasari bakal hilang dalam waktu dekat.

Masih segar di dalam ingatannya waktu pertama bertemu dengan Irene. Tubuhnya utuh. Cuma luka sayat mendalam yang diterima beberapa titik sendi. Menyebabkan perempuan itu susah bergerak. Pasopati tidak mau disandingkan dengan Gandawa. Setidaknya, cuma itu yang ia syukuri. Sebelas-duabelas dengan Seulgi yang terkapar di atas tanah. Jeongguk bisa menghajar habis SeokJin di tempat dan mengirimkan potongan tangannya untuk dihadiahkan pada Majapahit, kalau ia mau. Beruntunglah Irene datang dan mengingatkan pakai tarikan di lengan. Habis sudah kalau ia dibiarkan sendirian.

Kalimat NamJoon melayang-layang di permukaan angan. Kalau ia satu-satunya orang yang harus selamat. Kalaupun mengorbankan kedua kakaknya atau seisi Singasari, pemuda itu sepertinya sudah tidak peduli.

Tujuh peliharaan gaib nya ditempatkan di titik paling rawan. Sebagai makhluk yang bisa mewujud siapa saja, keberadaan mereka berguna. Sangan membantu.

Ia menghela napas panjang. Seakan bisa mengurangi beban batin yang seberat batu karang, sekarang. Pion-pion kecil yang ia buat dari potongan penghapus, dikumpulkan kembali. Ia remat-remat kertas peta yang entah berguna atau tidak. Menariknya sampai sobek dan jadi beberapa bagian. Melampiaskan rasa kesal dengan melemparkan benda tidak bersalah itu ke lantai. Meraung tidak ada gunanya. Ia tetap bungkam. Berjongkok di atas karpet dan mencengkeram surainya yang panjang. Kalau gambaran masa depan masih tidak berubah. Berarti sudah diputuskan.

Jeongguk yang bakal bertemu dengan Taehyung sendiri. Ini urusan yang harus diselesaikan antar raja yang berkuasa. Meski cuma bersisa setitik tekad, ia masih bisa bangkit. Mengamankan Singasari adalah prioritas utama, untuk saat ini.

...


Satu keresek kembang yang masih wangi bisa membuat tanah kuburan ayahnya kembali basah. Mengenang masa-masa dimana beliau baru saja masuk. Menyatu kembali dan duduk di samping Tuhan. Cuma ini satu-satunya yang ia inginkan, sedari dulu. Berkunjung ke makam raja sebelumnya, seorang diri. Biarkan ia bebas bercerita panjang lebar soal hidupnya dan bagaimana keadaan Singasari setelah ayahnya tinggalkan.

Akankah Jeongguk benar-benar bisa jadi pemimpin yang baik kalau menurut dengan pandangan masa depan yang ia terima? Ia mungkin bisa sanggup menyaksikan derai air mata di keping-keping masa depan yang terlihat. Setiap orang yang menitihkan air mata untuknya. Jeongguk tidak bisa bayangkan kalau sampai melihat secara langsung. Mungkin ia bakal bangkit dari kubur dan bilang kalau ia bakal bertanggung jawab karena sudah membuat orang-orang menangis. Konyol.

"Pak," bisiknya. "Kalau njenengan (anda) bisa dengar, aku mau cerita. Kayaknya anaknya njenengan mati joko (perjaka)." Jeongguk merasa kalau kalimatnya kurang tepat. "Maksudnya, mati muda." Ia ketok-ketok kepalanya pelan dan beralih mengetok tanah. Bergantian beberapa kali.

Baskara [kookmin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang