Jeongguk
Sepucuk surat datang dari Mojokerto. Berkata kalau kawan semasa kecil nya bakal datang berkunjung ke Singasari, lusa. Satu poin masa depan yang tepat. Sudah pernah ia prediksi beberapa hari lalu.
Kakak sulung nya dan NamJoon tidak kelihatan di siang bolong. Seulgi sibuk kerja, sedang NamJoon mungkin sudah waktu nya membuka kursus melukis. Tidak mau mendekam di studo dan menjadi satu dengan kuas-kuas usang yang disayanginya, selama ini.
Sengaja memang Jeongguk datang tanpa dikawal tiga orang yang dekat dengannya. Tanpa Seulgi, NamJoon, ataupun Irene. Masuk ke alam pemerintahan Singasari dan berjalan-jalan. Tidak banyak bisa ia temui tumbuhan hijau di alam yang mengaburkan gelar nya. Cuma disini, rasanya. Ia bisa menikmati betapa nyamannya hidup dikelilingi pasokan oksigen segar dan sejuk.
"Itu apa?" Jimin datang dari balik badan. Baju kebesaran masyarakat Singasari melekat di tubuhnya yang langsing. Ia tidak kelihatan terganggu meski sudah bertelanjang dada dengan batik bermotif Ulat Bulu. Warna merah ternyata melekat apik di atas kulit Jimin yang sekalem warna susu. "Surat dari siapa?" tanyanya sambil menunjuk lembar kertas yang dijinjing Jeongguk.
"Dari saudara jauhmu," jawabnya.
"Taehyung, ya?"
Jeongguk mengangguk.
"Kalian kelihatan akrab."
"Dari luar, iya." Telunjuk Jeongguk mengarah ke batuan yang tengah Jimin pijaki. "Hati-hati tersangkut, jaritnya." Belum juga ia menghela napas, Jimin sudah menarik-narik ujung kain akibat jaritnya terjepit di antara batu. Masuk ke lubang yang sama seperti Irene, beberapa hari lalu.
"Sepurane," bisik Jimin yang agaknya merasa bersalah.
"Jangan ditarik." Tubuh Jeongguk merunduk untuk membenahi jarit kawannya. Ditarik pelan-pelan supaya tidak robek. "Sudah," katanya.
"Kamu, kan, raja disini."
Jeongguk mengernyit. Heran. Dari semua topik pembicaraan, tidak pernah terbesit kalau Jimin bakal melontarkan kalimat yang tidak terduga. "Kenapa, memangnya?" Ia kembali bangkit. Menjinjing selendang yang tersampir di lipatan siku. Sudah tidak lagi terganggu dengan banyaknya aksesori keemasan di badan.
"Pasti punya ruang takhta, kan?"
"Ada."
"Bagaimana rasanya duduk disana?" Manik mata Jimin berbinar-binar. Mirip seperti bocah yang minta diceritakan dongeng di waktu senggang. "Melihat dari atas, orang-orang yang tidak punya gelar keningratan. Mereka berjongkok dan hampir ada di posisi menyembah kamu karena mereka membungkuk terlalu dalam."
Mungkin Jimin tidak sadar akan situasi yang sudah dipaparkan. Tidak ada satu orang pun diijinkan Jeongguk untuk berjalan jongkok di hadapannya. Beberapa dayang juga cuma dibiarkan menunduk saja. Tidak usah terlalu dalam sampai bisa menyebabkan tulang leher mereka sakit.
"Mau lihat?" tanya Jeongguk. Malas menjelaskan perkara ini dan itu. Lebih baik Jimin langsung dibawa saja ke ruangannya.
"Boleh."
"Cuci kaki dulu."
"Dimana?"
"Itu." Dagu Jeongguk beralih jadi menunjuk arah, sekarang. Bertatap ke pancuran air yang lengkap dengan kolam. Berbentuk persegi dengan beberapa batuan ditata di samping-samping kolam. Gemericik air yang mengalir juga masih bisa didengar. "Karena tempatnya dibersihkan setiap hari sedangkan aku jarang sekali ke sana."
Jimin
Ruang bertirai emas menyambut Jimin. Penuh selendang dari pojok atas sampai bawah guna jadi penutup batu yang diukir. Bagian relief dibiarkan terbuka. Berukir manusia berbondong-bondong, beberapa binatang, sampai seorang prajurit perang yang ada di medan tempur. Mengangkat keris dengan gagah.
![](https://img.wattpad.com/cover/271378265-288-k181569.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Baskara
Hayran Kurgu[ COMPLETE ] : KookMin [ Sudah dibukukan ] Indonesian Mythology Fanfiction Jimin ingat, kawan sekamarnya cuma satu dan sekarang sedang tidur nyenyak di dalam kamar kos nya. Tapi kenapa Jeongguk selalu muncul di saat Jimin sedang senggang? Sifat yang...