8 : Tahu Sesuatu Tanpa Diberitahu

581 155 30
                                    


Jeongguk

Di luar dugaan yang mengira kalau Jimin bakal kalang-kabut di dalam mobil karena salah prediksi jalan, pemuda itu justru duduk manis. Tangan kirinya berpegang pada pintu yang berkaca rendah. Menampilkan hijaunya pohon sekitar yang hampir tidak pernah tersentuh manusia. Sesekali saja bertanya ini dan itu. Soal jalan yang bakal dilalui atau soal makanan di balik jok mobil yang kedengaran jatuh dari kantong keresek. Selebihnya, hampir nihil. Jimin berubah jadi penurut di atas jok yang punya sabuk pengaman.

"Jim," panggil Jeongguk. memastikan kalau teman perjalan nya tidak berangkat ke alam mimpi sendirian.

Yang Dipanggil cuma menyahut dengan tolehan. Sama-sama ingin tahu apa kiranya yang Jeongguk butuhkan sampai memanggil namanya di tengah fokus anak itu mengendarai mobil.

Jalan terjal berbatu kadang membuat suara Jeongguk jadi terpatah. Tidak selesai atau tidak kedengaran. "Sebentar lagi, lewat sungai," paksanya berbicara. "Mau berhenti sebentar?"

"Sungai?"

"Iya."

Jimin manggut-manggut. "Pasti bagus kalau lihat dari atas."

"Apanya?"

"Sungainya."

Jeongguk bingung. Ia yang tidak pandai menjelaskan sesuatu atau kawan nya yang salah tangkap. "Kamu kira, kira bakal melewati sungainya dari atas? Dari jembatan?"

"Lah?" Jimin menanggapi tidak mengerti. "Jangan bilang kalau kita benar-benar lewat sungai," katanya, "lewat di tengahnya."

"Menyeberang," koreksi Jeongguk. "Jalan yang pakai mobil, cuma bisa lewat sini. Karena tidak hujan dan beberapa hari cerah, sungainya mungkin juga cuma air mengalir sedikit-sedikit."

"Besar, ya, sungainya?"

"Lumayan." Jeongguk manggut-manggut. Semoga apa yang tergambar di benak Jimin juga bisa hampir serupa dengan ingatan Jeongguk, sekarang. Kalau tidak salah, ia bahkan pernah lewat waktu hujan pakai sepeda motor. Alhasil, pulang ke rumah dan mendapat banyak pertanyaan dari ibunya. Mengira kalau anaknya bukan pamit hendak main ke pantai tapi cuma main lumpur. "Sebentar," katanya sambil memberhentikan mobil di tengah jalan karena tidak punya bayangan harus menepi ke arah mana, saking sempitnya. Ia beranjak keluar.

"Mau kemana?" Suara Jimin kedengaran mengekor. Diikuti debam pintu mobil yang menandakan kalau sosoknya sebentar lagi bakal kelihatan.

Satu bongkah batu alam menyembul keluar dari balik pohon. Seperti ditanam di bawah tanah dan mencari-cari jalan sampai ke atas dataran. Putih bening. Warnanya seperti akik yang belum dipoles. Yang jadi pembeda cuma bentuknya yang berupa bongkahan besar. Kira-kira, yang terlihat cuma satu perempat dari bentuknya yang asli. Atau bisa lebih besar lagi.

"Itu akik?" Jimin ikut merunduk memperhatikan. Justru berjongkok dan mengambil batu batu segenggam. Mulai mencoba menumbukkan keduanya. Berharap kalau bakal ada pecahan batu akik yang bisa dibawa pulang.

"Kamu ini mau menantang yang jaga atau bagaimana?" Tanya Jeongguk. Tidak perlu pakai mata batin untuk bisa lihat sosok tinggi dengan warna hitam yang memperhatikan kawannya. Berjalan menyeok pelan-pelan dan bersiap untuk mendekati Jimin yang tidak tahu apa-apa. "Bangun, Jim," panggilnya sambil menarik lengan temannya supaya berdiri. "Jangan buat ulah di rumah orang."

"Rumah?" Jimin celingukan. Mungkin mencari-cari kata yang bisa diasosiasikan sebagai bangunan dengan pondasi dan tembok. "Dimana ada rumah? Batu ini ada yang punya?" Tangannya menggenggam beberapa pecah batu putih yang berhasil ia dapatkan dari hasilnya menambang dadakan.

BaskaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang