Amelia Ananda Putri.
Nama yang bagus, bukan? Nama itu diberikan setelah tujuh hari aku dilahirkan. Sebuah nama dengan rangkaian penuh makna dan harapan dari kedua orang tuaku. Seperti yang semua orang tua harapkan, orang tuaku juga menginginkan anaknya kelak menjadi pribadi yang baik.
Tapi mengapa, mereka tega meninggalkanku saat itu. Saat dimana anak sangat perlu belaian dan kasih sayang orang tua. Saat dimana seharusnya aku mendapatkan cinta dan kasih sayang. Saat dimana anak - anak seusiaku bergandengan tangan dengan kedua orang tuanya.
Ibu dan ayahku membuangku di panti asuhan. Tempat yang sangat aku benci hingga saat ini. Bagaimana tidak, aku diperlakukan layaknya binatang yang dipandang hanya bisa makan dan tidur saja.
"Heh! Enak banget, ya, kamu!" bentak seorang yang memakai baju seragam panti asuhan.
"Cepet ambil cucian itu. Jemur di sana!" lanjutnya sambil menghempaskan tubuhku yang mungil ini.
Aku tersungkur ke lantai. Dengan sedikit meringis menahan sakit, aku bangkit dan mengambil cucian untuk dijemur. Aku bukan pemalas, hanya saja tubuh ini sudah letih mengerjakan semua pekerjaan yang seharusnya tidak dikerjakan oleh anak berumur 7 tahun sepertiku.
Setiap pagi aku dibangunkan. Mungkin sekitar jam 4 dini hari, aku sudah mencuci piring, menyapu lantai hingga mengepelnya. Bukankah itu tugas dari para petugas panti asuhan? Sudahlah pikirku. Setidaknya makananku diberikan tiga kali seperti anak panti lainnya.
Bukan hanya di panti asuhan aku dieksploitasi, perlakuan temanku di sekolah pun tidak ada bedanya dengan para pengurus panti asuhan itu. Aku sering dirundung. Rambutku diacak - acak, bajuku ditarik hingga terkadang kancingnya terlepas. Perlakuan seperti itu sudah menjadi makanan sehari - hari bagiku.
Bukan hanya diam, aku pun sempat beberapa kali melawan mereka yang menjahiliku di sekolah. Tetapi apa yang aku dapatkan tidak sesuai dengan yang aku harapkan. Jika seseorang melihatnya dan melaporkannya pada pengurus panti, aku akan dimasukkan ke kamar mandi dengan lampu mati, dikurung di sana hingga aku mengakui hal yang kuperbuat itu salah.
Ya, bukan langsung dimasukkan ke kamar mandi, sebelum itu tubuhku juga dihujani rasa sakit dari pukulan tangan. Tidak tanggung - tanggung, terkadang juga pengurus itu memukulku dengan penggaris kayu. Jika sudah seperti itu, apa yang bisa ku lakukan. Tidak ada. Sama sekali.
Diusiaku yang beranjak remaja, kejadian - kejadian itu tidak serta-merta berhenti. Bahkan setelah aku masuk ke sekolah menegah, aku hanya diberikan bekal untuk ongkos pulang-pergi. Tidak ada uang untuk sekedar membeli permen ataupun air minum kemasan. Seharian aku menahan lapar.
Di sini pun aku tidak mendapatkan teman. Semua orang menjauhiku karena penampilanku. Kumuh. Berantakan. Tak beraturan. Entah mengapa, rasanya keinginanku untuk mengakhiri hidup kian menggebu. Rasanya aku tak sanggup lagi menjalani ini semua.
Terkadang aku berpikir, permasalahan aku tidak mempunyai teman juga dari diriku sendiri. Aku yang jarang berbicara pada orang lain dan juga selalu menundukkan kepala tidak akan mudah menarik perhatian orang. Bukan hanya menjalin pertemanan, sekedar menyapa diriku pun mereka enggan. Bahkan, mungkin saja mereka tidak mengetahui namaku.
Terkadang aku menangis, walau tanpa suara terdengar. Aku selalu memikirkan betapa kejamnya dunia, betapa kejamnya nasib, dan betapa kejamnya kehidupan yang harus aku jalani. Sudahlah, mungkin ini yang harus aku jalani.