5

955 168 9
                                    

Eric tak berhenti menangis sambil terus memandangi nama yang tertera di hadapannya. Perasaannya campur aduk. Eric sendiri tak percaya beliau akan pergi secepat ini.

"Udah gausah cengeng." Ujar Jeno yang baru saja selesai memanjatkan doa untuk sang Mama yang sudah tertidur lelap di dalam peti.

Cowok itu berdiri kemudian memalingkan wajah ke arah lain, ia tak merasakan apapun dalam dirinya, hatinya sudah terlanjur mengeras seperti batu. Batu saja masih bisa hancur, namun hati Jeno saat ini lebih keras daripada batu.

"Lo apa-apaan sih? Mama baru aja pergi, kenapa lo begini sama dia?"

"Lo gak ngerasain jadi gue, Eric. Mama sayang lo, lo pasti sedih kehilangan dia. Tapi Mama sama sekali gak sayang gue, semua kasih sayang dan perhatian cuman buat lo sepenuhnya. Sadar bodoh." Balas Jeno tanpa mengeluarkan ekspresi sama sekali.

Benar, Mama baru saja dimakamkan pagi ini. Semua orang yang ada di sana telah pergi, menyisakan dua orang yang masih saja berada di samping gundukan tanah dengan sebuah peti di dalamnya.

Ternyata selama ini Mama menyembunyikan penyakit jantungnya. Ia mengalami serangan jantung secara mendadak, namun sebelum sampai dibawa ke rumah sakit, wanita itu telah kehilangan nyawanya lebih dulu.

Mama mengidap penyakit jantung sejak sang suami meninggal akibat keracunan. Wanita itu sudah bertahan sedari jaman si kembar SMA, hingga mereka kuliah semester 2. Cukup lama. Dan hebatnya ia bisa menyembunyikan penyakitnya dalam waktu selama itu.

"Waktu gue sama lu gotong Mama di kamar pas kena serangan jantung, gue gak sengaja liat pisau di lantai. Kira-kira Mama mau ngapain ya tadinya..?" Gumam Jeno dengan pandangan ke arah langit cerah di atas sana. Cowok itu benar-benar tidak menyadari jika Eric telah menghentikan tangisannya setelah ia melontarkan kalimatnya.

Ia mengira-ngira sekaligus berimajinasi. Bayangan apa yang terjadi sebelum Mama terkena serangan jantung tiba-tiba melintas di dalam benaknya.

"Apa jangan-jangan tadinya Mama mau bunuh diri?"

"Jangan sembarangan ngomong."

"Gue kan cuman nebak." Kata Jeno dengan wajah menyolot yang ia tunjukkan pada Eric. "Ck, elah, lebay banget lu."

"Bukan lebay, gue cuman menghormati orang yang udah gak ada. Jadi jangan ngomong sembarangan."

"Kenapa lu? Takut di datengin?"

"Enggak," balas Eric tegas. "Gimana pun juga ini orang tua lo, Jen. Mereka yang bikin lo ada di dunia---"

"Kalau gua tau kehidupan gua kayak gini, gua juga gak bakal mau lahir ke dunia, Ric. Bukan apa-apa. Sesuai kata lo, mereka yang udah bikin gua lahir ke dunia ini. Itu mereka yang mau, bukan gua yang mau. Mereka punya tanggung jawab buat ngebesarin anaknya sebaik mungkin. Tapi apa? Yang diperhatiin selama ini cuman lu doang, gua enggak."

"Emang lu pikir jadi gua enak, Jen? Sama sekali enggak. Kalo lu ada di posisi gua pasti bakal bingung harus bertindak kayak gimana."

Perkataan Eric sungguh membuat Jeno harus memutar otak untuk mencari tahu apa maksud omongannya. "Maksudnya? Ah, udah deh ya, gak usah adu nasib sama gua."

"Gak usah sok berlagak menjadi orang yang paling menderita." Jawab Eric cepat.

Detik kemudian Jeno tertawa pelan yang lebih terkesan meremehkan. "Emang lu ada masalah apa sih ha? Anak mamihh.."

"Nanti juga lo tau." Kali ini Eric ikut beranjak. Menatap kakak kembarnya yang lebih tinggi darinya itu tanpa ekspresi apapun. Semalam ia tak sempat tidur, maka dari itu sifatnya berbanding balik dari biasanya. "Semua berhubungan dengan masalah yang selalu lo dapet semenjak lo SMP, Jen."

"Apaan sih anjing? Gak jelas banget lu bawa-bawa masa lalu." Jeno menendang dedaunan kering yang berserakan di pemakaman. Ia terlanjur kesal karena sedari tadi Eric tidak memberikan jawaban yang jelas.

"Loh, emang bener. Gue kan cuman jawab."

"Kalo jawab tuh yang detail. Jangan disingkat-singkat."

"Males banget gua jelasin secara detail. Sampe mulut berbusa pun lu gak akan percaya."

"Gak percaya gimana? Dijelasin aja belum, sok-sokan ngeramal respon gua."

Eric tersenyum tipis pada Jeno. Kalau di sini ada temannya, pasti ia sudah melakukan itu sejak tadi.

"Apa lo masih inget kejadian waktu SMP? Tentang murid sekolah sebelah yang mati dibunuh sama salah satu warga sekolah kita." Eric menjeda omongannya. "Kasusnya diselesain begitu aja karena polisi udah nyerah gak nemu-nemu pelakunya. Bahkan sampai sekarang aja gak ditindaklanjuti lagi. Polisinya gak nanya gua sih, padahal gua tau pelaku aslinya."

Seketika Jeno membulatkan mata karena ia masih dapat mengingat jelas kasus yang dijelaskan oleh sang adik.

8 tahun sudah berlalu. Dan mengapa Eric baru memberitahunya sekarang?---Setelah mereka sudah menjadi mahasiswa yang beranjak ke semester 2.

Jeno langsung kembali dengan akal sehatnya. Ia pun bertanya.

"S-siapa pelakunya?"

Dan pertanyaan Jeno dijawab dengan jawaban yang tak pernah ia duga sebelumnya.



















"Gue. Lebih tepatnya Eric yang kedua."

Twins || Lee Jeno & Eric Son [√]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang