Prolog

94 9 1
                                    


2007.

“Hujannya nggak berenti-berenti

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Hujannya nggak berenti-berenti. Kamu tetep mau ke pernikahan temen kamu?” wanita itu mengintip dari balik gorden kamarnya dan melihat hujan di luar sana yang turun dengan derasnya, disertai dengan angin kencang dan sesekali kilat terlihat pada langit malam yang gelap. Seharian ini, kota memang dilanda hujan deras yang tak pernah berhenti. Sudah seminggu belakangan, kota terus dilanda hujan. Hanya berhenti sesaat, lalu setelahnya hujan akan kembali turun.

“Ya nggak apa-apa. ‘Kan ada mobil,” pria yang kini terlihat rapih dengan setelan kemeja putih serta celana hitam dan rambut yang ditata rapih itu hanya menjawab santai sembari memakai jam tangan di tangan kirinya. “Lagian, nggak mungkin ’kan aku nggak jadi pergi cuma gara-gara hujan. Tempat acaranya juga nggak jauh dari sini,” ia melanjutkan lalu kembali menatap dirinya di depan cermin, merapihkan kerah baju serta kemeja putihnya. Tak lupa menyemprotkan parfum di daerah leher.

Wanita tersebut menatap suaminya. “Apa nggak masalah kalau kita ninggalin adik kamu sendiri?” ia berjalan lalu duduk di pinggir ranjang. Dirinya sendiri juga sudah rapih dengan balutan gaun berwarna biru laut serta wajah yang sudah dipoles dengan make up yang terlihat natural.

“Aku udah ngajak dia, tapi dianya nggak mau. Ada Bibi juga kok yang jagain.”

Wanita tersebut terdiam. Hanya menatap pada punggung suaminya tanpa mengatakan apa-apa lagi. Entah kenapa, malam ini ia merasa tidak tenang. Seperti ada sesuatu di dalam hatinya yang membuat ia merasa cemas dan khawatir.

“Pat, gimana kalau kita nggak usah pergi?”

Patra menoleh, bersamaan dengan dirinya yang hendak memakai jas hitam miliknya. Niatnya ia urungkan begitu saja ketika mendengar istrinya berkata seperti itu. Keningnya mengerut, lantas menghampiri sang istri lalu duduk di sebelahnya.

“Kenapa, Sin?”

Sinta diam, tidak menjawab dan hanya menunduk sembari memainkan jemarinya.

Patra memperhatikan wajah Sinta yang tampak gelisah. Meskipun dipoles dengan make up, Patra masih bisa raut pucat yang terpampang jelas di sana. Apalagi saat Sinta hanya diam dan tidak membalas pertanyaannya.

“Kamu kenapa? Kamu sakit? Nggak enak badan?” Patra refleks menyentuh jidat Sinta dengan punggung tangannya, mengecek suhu tubuh istrinya itu. Istrinya tidak demam.

“Bukan gitu. Aku cuma nggak mau kita pergi. Kita nggak usah pergi, ya?” Sinta menatap wajah Patra, memohon agar suaminya itu membatalkan niatnya yang hendak pergi ke acara pernikahan teman SMA-nya.

“Kok gitu? Kenapa?”

Sinta menggigit bibir bawahnya. Bukan tanpa alasan dia meminta kepada Patra untuk tidak pergi. Sinta punya alasan, namun ia tidak bisa mengatakannya. Lebih tepatnya, ia tidak bisa menjelaskan perasaan asing yang mengganggu dirinya dan otaknya menyuruhnya untuk tidak pergi ke acara pernikahan teman Patra.

DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang