28 : Dari Dulu

401 122 17
                                        

Jeongguk

Membawa Jimin ke tempat berjudi rupanya sudah membuat anak itu terlatih untuk tidak heboh. Ia berubah dari sedikit-sedikit takut jadi memberanikan diri untuk menengok kesana-kemari. Kadang membawa sekotak susu sebagai kawan karena Jeongguk harus sibuk bercakap dengan Bambam. Jimin menunggu dengan tenang. Tidak pula canggung. Sekadar bisa menempatkan diri.

"Itu yang namanya Jimin?" Bambam menunjuk pemuda yang duduk manis di atas sofa tunggal. Menggantikan Jeongguk yang berdiri dekat dengan dinding. "Yang kamu bilang kalau dia bawa Pararaton?" tanyanya.

"Iya." Sekotak teh diseruput Jeongguk melalui sedotan. "Lucu, ya?"

"Lucu tapi jangan ngomong kalau dia lucu, di depanku."

"Kenapa?" Jeongguk tidak terima.

"Ngeri, kalau kamu yang bilang." Tubuh Bambam didudukkan di kursi tinggi. "Mirip seperti orang yang mau menculik anak-anak."

"Jancik," umpat Jeongguk, "kayaknya, aku bakal absen beberapa minggu. Tidak tahu kalau sampai bulanan."

"Mau kemana?"

"Ada urusan. Tidak bisa ditinggal."

"Kok, aku dengar dari Yugyeom, Majapahit dan Singasari sedang perang dingin."

Jeongguk mendengus geli. Bukan dingin tapi panas. Yang sudah mendidih sampai bisa membuat orang terluka dan menumpahkan darah. Sejauh ini, masih bisa dikontrol dan sudah sesuai dengan masa depan yang ia lihat. Tapi entah, setelahnya. "Begitu. Aku ndak bisa ceritakan lebih detail. Yugyeom bilang kalau dia ikut ke rencana Majapahit atau bagaimana?"

Bambam mengendikkan bahu. "Kayaknya ndak. Katanya, sebisa mungkin tidak usah ikut campur ke urusan dalam Singasari. Toh, turunannya sudah ada di Madura, lama. Asing kalau ditanya soal Singasari, walaupun masih terhitung orang dalam."

Pilihan yang bijak, pikir Jeongguk. Mungkin Yugyeom juga merasa kalau masuk ke masalah orang tanpa tahu cikal-bakal dan akar permasalahannya, justru jadi seperti senjata makan tuan. Bakal berimbas ke dirinya, nanti di masa depan. "Memang dia ndak ada berita apa-apa. Wilwatikta juga tidak menyebut kalau dibantu sama pihak dari Madura. Jadi Yugyeom sepertinya tidak bohong."

"Harus, ya, Gguk?"

"Apanya?"

"Gencatan senjata, begitu."

"Kalau menurutku, ndak. Tapi karena sudah sampai menyerang ke susunan dalam, mbakku juga kena, aku jadi tidak bisa diam saja."

"Ibumu gimana?" Bambam menyeruput pelan-pelan cairan bir di gelas yang masih bersisa setengah. "Lihat anaknya babak-belur begitu? Pulang-pulang dari Singasari langsung harus lari ke rumah sakit."

"Kayaknya, sudah pengalaman. Mungkin almarhum dulu, juga begitu."

"Bapakmu?"

Jeongguk mengangguk. Satu-satunya orang yang mengajarinya dasar-dasar sebagai manusia yang mawas diri. Pentingnya ketenangan pikiran yang harus mengusir prasangka buruk-buruk. Kalau hati bersih, pikiran tidak tercemar, semuanya bakal muncul solusi. Satu persatu. Tidak usah buru-buru. Bapaknya bilang kalau kita punya banyak waktu di dunia. Lari tidak apa-apa, kalau bisa. Kalau sulit, ya, jalan. Tidak bisa jalan, ya, merangkak. "Kalau ada apa-apa, coba telfon ke rumah saja, Bam." Ia menepuk-nepuk pundak temannya. "Jangan kangen sama aku kalau aku tinggal."

Tawa membahana hampir membuat tubuh Bambam terjungkal, kalau tidak berpegang ke meja. "Cuma kamu orang yang datang ke aku dan minta carikan kandidat manusia. Kayak tumbal saja."

BaskaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang