[BANDUNG • 2019]
SEAKAN mengetahui suasan hati si gadis bersurai hitam dengan kursi roda yang dikendarainya, langit sore menghitam, juga dengan hawa dingin yang mulai terasa, merambat kasar, menyentuh kulit halus Alexandra.
Bayang-bayang mengerikan beberapa hari lalu agaknya masih enggan pergi dari pikiran gadis itu.
Sebanyak apa pun ia menyangkal dan berpikir bahwa 'kemarin hanya mimpi!', nyatanya semesta punya kenyataan.
Semuanya nyata. Kecelakaan tersebut benar adanya. Apalagi, dengan seseorang yang tewas di dalamnya.
Alexandra hendak menolak. Namun, ia bisa apa? Memangnya, ia bisa menentang takdir Tuhan? Tentu jawaban tidak sudah ia hapal di luar kepala. Namun, apakah benar, ia setuju dengan hal tersebut?
Tidak.
Alexandra Putri Samantha menentangnya mentah-mentah.
"Lihat, Agra. Gue di sini."
Sembari memegangi perekam suara, ia mendekat kemudian bertatih guna bersimpuh di depan gundukan tanah yang bahkan—masih sangat harum.
"Ya mau gimana lagi, gue sayang Alexandra."
"Gue juga sayang lo, kok," ucapnya parau ketika mendengar kekehan juga sahutan kecil dari Agra yang wujudnya tak lagi ada.
Takdir kejam. Begitu hina Alexandra.
Ia pikir, kehilangan sosok yang bahkan belum sempat digenggam adalah takdir paling menjengkelkan yang Tuhan ciptakan."Agra Yanuar Sanggani ... nama lo bagus. Tapi, gak pantes ditulis di sini." Jemarinya mengusap sendu papan nisan yang mencetak jelas nama cowok tampan yang seumur hidupnya hanya dianggap beban oleh Alexandra.
"Gue di sini. Duduk di depan lo, senyumin lo. Gak mau lihat dulu?" ungkapnya sembari menahan sakit yang menjalar dari ujung kepala.
Terhitung sudah puluhan kali Alexandra minum obat dengan dosis yang berlebihan, dengan harapan yang pastinya, sebuah kematian. Namun, semesta masih enggan melepasnya, seakan, masih sangat puas menyaksikannya menderita.
Alexandra tidak menentang. Ya, mungkin garis takdir yang Tuhan ciptakan hanya untuk menderita.
Tapi ... jika boleh Alexandra bertanya, mengapa harus ada orang lain yang menjadi korban keganasan takdir tersebut?
"Rasanya kaya mati, Ga."
"Kan emang harusnya lo mati, Kak." Suara seseorang di belakang sana ikut menyahuti.
Menarik napas pelan, ia membalas, "Mau bunuh gue?"
"Sayangnya, gue bukan pembunuh seperti lo."
"Gue mending mati daripada dicap pembunuh," tolak Alexandra seiring dengan wajah yang kembali menampilkan air mata.
"Loh? Gak sadar jadi pembunuh, ya?" Gisel menyibir.
"Gue gak pernah tau itu bakal terjadi."
Terkekeh pelan, Gisel menambahkan. "Jauh sebelum kejadian ini, lo udah bunuh mental kakak gue."
"Gue-"
"Lo gak lebih dari seorang pengecut yang bisanya bersembunyi di balik kata, 'luka!'."
ıllıllııllıllı
—Alexandra2017.
—Agra2017.
—Agra2018.
— Alexandra2019.
tbc.
prolog dulu, yah?
kamu tim baca ulang atau baru baca?
kalau mau jadi pembaca saya, harus ekstra sabar. saya lama kalau up :(
ohya, ini versi revisi, yah. maap-maap aja, kalau alurnya beda.
follow saya di instagram: wattpad.chupaalma
KAMU SEDANG MEMBACA
FOR YOU AGRA
Teen FictionWalau tidak ditelaah lebih dalam, predikat orang bodoh mestinya bertengger pada Agra. Meski sering mendapat penolakan bahkan cemohan yang mendorong ke arah penghinaan dari seorang Alexandra, ia tetap berdiri pada pendiriannya untuk tidak berhenti da...