Perasaan marah. Itu yang Snape rasakan saat ini. Bagaimana tidak, anak-anak berkepala kosong hampir menghancurkan kelasnya karena kecerobohan mereka yang meledakkan hampir separoh kuali ramuan. Alhasil, sebagian dari mereka terluka akibat cairan panas yang mengenai kulit mereka.
Dan kini, Snape yang menanggung semuanya. Dia harus membuat beberapa ramuan untuk menyembuhkan luka bakar.
Snape terburu-buru melangkahkan kaki menuju Hospital Wings dengan membawa beberapa botol ramuan.
PYARR
Seseorang menabraknya hingga ramuan yang berada di genggaman tangannya jatuh dan pecah.
Snape memerah padam, amarahnya memuncak. Dia menatap tajam setajam pisau kepada gadis Gryffindor yang menabraknya tadi.
"M-maaf, Professor. A-aku tidak sengaja. "Ucap Lexa dengan terbata-bata karena menahan rasa takut akan kemarahan Professornya ini.
"Potong 50 angka dari Gryffindor! Dan detensi tidur di hutan larangan! Anak-anak berkepala kosong dan tidak berguna sepertimu seharusnya tak bersekolah di sini! Apa kau tidak ada hal yang berguna selain membuat masalah?!" Ucap Snape dengan nada yang menggelegar.
Lexa menunduk takut, tangannya meremas jubahnya dengan keringat yang membasahi sekujur tubuhnya. Menggigit bibir bawahnya kuat hingga menimbulkan luka.
Snape geram karena gadis yang ada dihadapannya hanya menunduk dan tidak menjawab ataupun memprotes perkataannya.
"Jawab! Kenapa kau diam saja?! Selain tak punya otak apa kau tak punya mulut juga?!"
"Aku tidak sengaja, Professor. Aku sedang terburu-buru. Adikku sedang sakit dan sekarang dia membutuhkanku. " Ucap Lexa, memberanikan diri mendongak menatap wajah garang pria di hadapannya.
"Aku tidak membutuhkan alasan apapun darimu! Sudah cukup kau dan anak-anak tak berguna itu membuatku sangat marah hari ini. "
"Bukankah kau selalu marah, Professor?" Sialan! Dari mana dia mendapatkan keberanian untuk menyangkal perkataan sang Professor. Dia langsung membekap mulutnya. Snape menggeram, dia mengepalkan tangannya kuat hingga urat-urat di tangannya keluar.
"Aku tidak menyuruhmu untuk menyangkal perkataanku, Ms. Nelson. " Ucapnya, "Potong 15 angka dari Gryffindor. Sangat di sayangkan, kau membiarkan point asramamu hilang dalam sehari ini hanya karena kecerobohan dan sikap tak sopan kepada seorang guru. Percuma saja teman sok pintarmu itu bersusah payah mengumpulkan point asramanya dan dihilangkan oleh anak-anak berkepala kosong sepertimu. "
"Kami bukan anak-anak berkepala kosong, Sir. Jika anda tidak berniat untuk mengajar kami, sebaiknya anda mengundurkan diri saja. Oh, apa perlu kami meminta Headmaster untuk memecatmu dan mencarikan guru baru yang siap mengajari kami dengan sabar dan telaten tidak seperti anda. "
"Jaga perkataanmu, Ms. Nelson! Berani kau berbicara seperti itu di depan guru mu ha?! " Dengan cepat Snape mendorong tubuh Lexa hingga menubruk tembok yang ada di belakangnya. Mengunci tubuh Lexa dengan kedua tangannya.
"Aku tak segan-segan akan memberikanmu hukuman lebih berat jika kau tidak bisa menahan ketidak sopananmu itu. "
Snape mendekatkan wajahnya, terasa nafas Lexa yang memburu. Lexa dengan cepat memejamkan matanya karena Snape semakin mendekatkan wajahnya. Pikirannya sedang tidak baik. Snape akan—
Menciumnya.
Lexa heran dengan Snape yang berhenti mendekatkan wajahnya, dia membuka sebelah matanya.
Snape menyeringai, "Sayang sekali aku tidak akan melakukan apa yang kau pikirkan, Nona. Tidak selama kau tak membuat masalah denganku. " Setelah mengucapkan kalimat itu, dia berlalu minggalkan Lexa yang masih diam mencerna perkataan Snape barusan.
"Dasar Professor cabul! " Dengan begitu dia langsung bergegas menemui adiknya.
* * * * * * *
Malam harinya, Lexa menjalankan detensinya tidur di hutan larangan. Perasaan takut akan kegelapan sebentar lagi akan menyerangnya. Phobia gelap atau nyctophobia yang dialami oleh Lexa sejak kecil. Ketakutan yang berlebihan dengan kegelapan membuatnya selalu was was apabila memasuki area yang minim penerangan.
Berpamitan dengan teman sekamarnya dan mulai berjalan keluar kastil seorang diri. Terlihat lampu terpasang dibeberapa sudut pondok Hagrid. Dengan bermodalkan senter kecil dia memberanikan diri memasuki Forbidden Forest.
Sudah beberapa meter dia memasuki hutan terlarang, terlihat pondok Hagrid yang sudah jauh dari pandangan hingga hampir tak terlihat. Keringat yang bercucuran membasahi seluruh tubuh dan wajahnya. Nafasnya tersengal-sengal antara takut dan lelah secara bersamaan. Kakinya lemas dan bergetar rasa tak mampu untuk menahan beban tubuhnya hingga dia refleks bersandar di bawah pohon besar.
Air matanya bercucuran keluar, ia menangis sejadi-jadinya. Bayangan kematian kedua orang tua nya kembali menghantui pikirannya. Pandangannya menggelap dan ia terjatuh tak sadarkan diri.
Sementara Snape, dia sedang mencari bahan ramuan di hutan terlarang. Ketika dia akan kembali, pengelihatannya menampakkan sebuah kaki dari balik pohon. Dia sangat yakin jika dia seorang perempuan. Dengan perlahan dia mendekati dan terkejut bahwa kaki tersebut milik muridnya yang baru tadi siang membuat masalah dengannya. Dan dia di sini menjalankan detensi yang dia diberikan kepadanya.
Snape cepat mengangkat sedikit tubuh bagian atas dengan lengan sebagai tumpuan. Menepuk-nepuk pipi untuk menyadarkannya.
Demi merlin! Tubuhnya sangat dingin.
Ketika Snape akan mengangkat tubuhnya tiba-tiba Lexa membuka matanya. Dia menantap Snape dengan pandangannya yang sedikit gelap sembari berucap.
"Professor Snape. Itu kau?"
"Apa yang kau lakukan di sini bocah idiot. "Geram Snape.
Lexa terkekeh lemas, "Ah benar itu kau, Professor. Tentu saja menjalankan detensiku. "
"Aku akan membawamu ke kastil. " Snape kembali mengangkat tubuh Lexa namun tangannya ditahan olehnya.
"Tidak. Detensi tetap harus dijalankan, Professor. "
"Apa maksudmu? Tubuhmu sangat dingin dan kau tak memakai pakaian hangat sedikitpun. "
"Kau mengkhawatirkanku, Professor. "
Snape mengangkat sebelah alisnya, "Tentu saja tidak. " Snape sedikit berbohong, jauh dilubuk hatinya jika ia mengkhawatirkan bocah yang ada di hadapannya.
"Kau tak pandai berbohong, Professor. Dari caramu saja sudah terlihat jika kau mengkhawatirkanku. "
"Jadi?"
"Huh?"
Snape memutar bola matanya malas, "Jadi apa mau mu sekarang?"
Lexa sempat berfikir sejenak sebelum berkata, "Aku akan menjalankan detensiku. Tidur di hutan larangan. "
"Bersamamu. " Dengan cepat Lexa menarik tangan Snape dan membawanya ke sebelahnya. Menggunakan jubah Snape sebagai penghangat.
Dengan terpaksa, Snape ikut melelapkan dirinya di sebelah gadis itu dengan posisi memeluknya.
"Tidurlah, aku akan menemanimu. Sampai kapanpun. "
END
Next siapa lagi nih?
Komen ya ❤
Semoga suka sama cerita author ini
Maaf ya kurang menarik ceritanya 😫