Meratapi nasib buruk yang selalu menimpanya, merasa kebahagiaan tak pernah memihak kepadanya. Kesedihan berlarut-larut hingga tak ada tempat untuk bisa merasakan kebahagiaan sampai detik ini.
Tuhan tidak pernah adil, itulah anggapannya. Mengapa Tuhan tidak pernah membiarkannya bisa merasakan kebahagiaan walau hanya sebentar. Mengapa harus dirinya yang mengalami mimpi buruk ini. Mengapa dan mengapa dirinya! Disaat anak-anak yang menginjak usia remaja, orang-orang disekitarnya akan selalu mendukung dan memberikan semangat. Kenapa dia tidak? Usia yang sudah menginjak 14 tahun harus menelan pahitnya kekerasan dalam sebuah keluarga.
Di pinggiran danau hitam, Valerie menangis sejadi-jadinya. Dia sempat berfikir untuk apa dia hidup jika harus menanggung kesakitan ini sendirian. Tidak ada yang menemani dan mengerti dirinya.
"Menangis seharian tidak ada gunanya. "Ucap seseorang di belakang Valerie. Dia bangkit dan menghapus air matanya.
"Professor Snape. "
"Tak ada gunanya kau hanya menangis dan meratapi kesedihanmu. "
Valerie menggeleng, "Tapi setidaknya menangis dapat menenangkan hatiku, melepas sejenak kepenatanku, mencurahkan segala kegundahan hatiku yang selama ini terbendung. "
"Lalu?"
"Entahlah, aku merasa tak ada gunanya hidup. Ada dan tidak ada aku, orang tua ku tak akan mempermasalahkannya. Aku adalah anak yang tak pernah diinginkan mereka. Seharusnya aku tak pernah lahir ke dunia ini dan merasakan kesedihan semua ini. "
"Kau berniat akan mengakhiri hidupmu begitu?"
Valerie tak menjawab, dia hanya diam tak bergeming sembari menunduk.
"Jika iya, itu adalah pilihan yang buruk, Nona. "Ucap Snape, dia mendekati Valerie yang masih pada posisinya.
"Mengakhiri hidup bukan jalan yang tepat, kau menganggap jika kau mengakhiri hidup, masalahmu akan selesai begitu?"
"Kau salah besar Valerie. Kau akan lebih menderita setelahnya. "
"Kau tak mengerti apa yang aku rasakan, Professor. Jika kau jadi aku mungkin kau tidak akan bisa bertahan sejauh ini. "Ucap Valerie kembali terisak.
"Aku merasakannya. "
"Huh?"
"Aku pernah berada di posisimu. Bahkan jauh lebih buruk dari apa yang sekarang kau rasakan. "
"Maaf—"
"Tak usah dipermasalahkan. Kau tahu apa yang harus kau lakukan sekarang?"
Valerie menatap Snape sejenak dan berucap, "Bangkit. Aku harus bangkit. "
"Great. "Snape mengulurkan tangannya. "Mari bangkit dari kesedihan. Tunjukan pada dunia bahwa kau berguna, buat orang tuamu menyesal karena telah menyia-nyiakan anak setegar dirimu. "
"Bersama-sama. "
Senyuman tulus pertama kali tercetak jelas di wajah Valerie, dia menerima uluran tangan Snape.
"Ingin pergi ke suatu tempat?"
"Kemana?" Tanya Valerie.
"Lihat saja nanti kau akan menyukainya. "
Mereka berjalan menyusuri hutan, pohon demi pohon mereka lewati.
"Masih jauh, Professor?" Tanya Valerie, kakinya sudah mulai pegal-pegal.
"Masih. "Ucap Snape tanpa menoleh ke arah gadis di sebelahnya. Valerie sudah tak kuat berjalan berkilo-kilo meter. Dia beranggapan tempat yang dituju Snape sangat dekat, tapi dugaannya salah.