Part - II

147 85 105
                                    

Aku tidak tahu apa yang membuat kakiku melangkah keluar rumah padahal jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Besok aku harus pagi-pagi buta ke kampus karena ada buku yang sedang aku cari di perpustakaan. Biarlah, kalaupun besok gagal ke perpustakaan masih ada hari lain. Halah Alaya, terus saja kau undur jadwalmu itu, bisik sisi lain dari diriku.

Sebenarnya aku tidak tahu kemana kaki ini melangkah, ke barat, selatan, utara, barat daya, bodo amat deh yang penting lega aja udah keluar rumah. Mencari angin malam-malam begini kadang mengatasi rasa penat yang mengganjal. Melihat jalan raya yang tak henti-hentinya bekerja sudah cukup membuatku seolah tak sendiri.

Aku memutar pandangan mencari objek yang dapat aku temui untuk singgah. Terdapat minimarket 24 jam di seberang jalan dan aku memutuskan untuk singgah ke sana sebentar membeli camilan. Tanganku merogoh saku jaketku dan meraba apakah membawa uang atau tidak. Aha! Ternyata ada. Melihat kanan kiri memastikan jalanan sedikit lengang, aku melangkah menuju minimarket di depan ini.

Tanganku mendorong handle pintu masuk dan langsung melangkah ke arah etalase tempat mie instan dan minuman penyegar berada. Cukup lama aku memandang etalase di depanku hanya untuk melamun saja.

"Yang mana ya yang enak?" Gumamku kepada diri sendiri. Mataku menjelajahi satu persatu mie instan di depan ini dengan bingung. "Yang ini kemaren udah, ini juga udah. Semua udah, duh bingung nih."

Akhirnya pilihanku jatuh kepada pop mie yang berwarna merah di depanku ini. Aku membawanya dan sebotol minuman isotonik untuk kubayar di meja kasir. Karena antrean tak panjang, hanya ada bapak-bapak yang membeli rokok, maka akupun dengan cepat sudah di depan kasir.

Berhubung belanjaanku hanya dua pop mie dan minuman isotonik, tak butuh waktu lama penjaga kasir untuk menghitung totalnya. "Totalnya empat belas ribu tiga ratus rupiah ya Mbak."

Aku merogoh kantungku dan seketika mataku melotot melihat nominal uang yang berada di dalam sana. Hanya sepuluh ribu rupiah? What the fuu-- anjrit. Aku kira waktu aku merabanya tadi aku membawa lima puluh ribu, tau-taunya hanya sepuluh ribu. Kantong sialan, harusnya dia bilang tadi kalau hanya ada sepuluh ribu di dalam sana.

"Ehm, minumannya boleh di batalin aja gak Mbak?" Aku meringis menahan malu menatap wajah Mbak kasir yang sepertinya tahu uangku kurang.

Ia menggeleng dengan wajah masamnya, mungkin ia sudah lelah seharian menjaga dan mendapatkan customer sepertiku mampu membuat mood nya turun drastis. "Maaf Mbak tapi barang yang sudah di hitung tidak bisa dikembalikan."

Duh bego, bego, bego. Kenapa bisa bego banget sih malem ini. Aku melirik antrian di belakangku yang sudah menunggu. Masa harus pulang dulu sih? Cape banget dong. Mau minjem uang Mas di belakangnya ini tapi aku juga gengsi.

"Bentar ya Mba, saya mikir dulu. Mas nya ini duluan aja Mba."

Aku mempersilahkan lelaki di belakangku yang hendak membayar rokok dan minuman yang hendak di bayarnya. Karena postur tubuhnya yang terlalu tinggi dan berhubung juga wajahnya tertutup masker juga tudung hoodie, aku tak dapat jelas melihat wajahnya. Hm ... this smell, kaya tau deh ini wanginya siapa. Duh, bego mending mikirin utang dulu deh, ini malah mikirin wangi orang.

Aku menggigiti bibirku dan bergerak mundur sambil berpikir. Di tengah-tengah pikiranku yang berkelana, tahu-tahu saja Mas di depanku ini menyahut. "Punya dia gabungin aja sama punya saya Mbak."

ALHAMDULILLAH!

Ya Allah aku gak tau mau mengucap syukur yang bagaimana lagi kepada-Mu. Dengan girang aku mengambil barangku dan berterima kasih kepada malaikat penolongku yang satu ini. "Makasih ya Mas, semoga dimurahkan rezeki nya, di mudahkan jalan--"

N O T H I N GTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang