Cerita dimulai
Di stasiun kereta:
Ada seorang pria yang sedang tertidur ia memakai kaos putih dan memakai jaket berwarna biru tertidur di kursi tunggu dengan barang-barang nya yang banyak, lalu ada suara kereta yang datang
Bunyi siulan kereta tersebut membuat pemuda itu terbangun dan melihat ke arah samping kirinya dengan mata yang agak tertutup "Halo kau mau ke Indosiar University nama ku Randa Chaudary" sambil memberikan tangannya "Aku Faul..... Faul Sharma" dengan mengambil tangan Randa lalu bersalaman mereka berdua pun beristirahat dan terdengar lagi suara kereta yang datang mereka pun terbangun karena suara kereta ada sebuah tas yang jatuh dari gerbong kereta sepertinya ada orang yg ingin keluar "Terima kasih jalan lah" kata sang pemuda lalu ia menuju arah Faul dan Randa
"Kau ingin ke Indosiar University? Perkenalkan nama ku Gunawan Oberoi" sambil menjulurkan tangannya
"Randa Faul" dengan bersalaman
"Oh" sambil bersalaman
Ini pertemuan pertama mereka.
Saat itu mereka tak tahu, pertemuan singkat mereka di stasiun, akan menjadi persahabatan yang abadi.Jeep terbuka dengan warna hitam dan putih itu melaju mengantar Gunawan, Faul dan juga Randa ke sekolah baru mereka, Indosiar University. Bukan hal yang mudah untuk bisa menginjakkan kaki di universitas dengan gedung bergaya mesir tersebut. Karena tidak hanya tentang hasrat belajar, jelas diperlukan kemampuan intelek yang mumpuni.
Indosiar University memfasilitasi gedung asrama khusus pria di sayap kanannya, dekat dengan hutan tidak jauh dari danau berdiameter sedang di bagian kirinya. Musim dingin di tahun ini membuat banyak kabut menutupi gedung di setiap pagi, hutan seakan berada di wilayah tropis yang beriklim basah.
Tiga pemuda itu memasuki asrama, tinggal dalam satu dorm dengan dua ranjang yang salah satunya bertingkat. Suasana dingin dan gelap menyambut mereka, sampai Gunawan yang berinisiatif menekan sakelar untuk menghidupkan lampu.
"Kamarnya cukup luas." Pria itu berkomentar dan mendapat atensi dari Faul juga Randa, menatap aneh seakan tidak pernah mengira hal apa saja yang ada pada pikiran Gunawan.
Kamar mereka tidak cukup luas, ya katakan saja jauh dari kata luas.
Namun Gunawan memang ajaib. Dengan senyumannya ia bergerak menyingkirkan Randa yang menutup jalan masuknya, lantas melemparkan tubuhnya sendiri pada tempat tidur yg sudah di alasi kasur.
"Yang masuk pertama kali, dia yang dapat." Ujar Gunawan, merentangkan tangan seolah menikmati tempat tidur barunya. Faul dan Randa tak menghiraukan ketika Gunawan sibuk berceloteh memberi komentar. Dimulai dengan, "Ini tempat tidurku." Sampai dengan, "Oh Tuhan, ini kasur atau batu?"
Merasa tidak mendapat respon, Gunawan berangsur membereskan tempat tidurnya. Tak lantas membuatnya berhenti berkomentar. Gunawan masih berceloteh meskipun tangannya sibuk menata kasur kapuk serta bantal dan selimut yang senada.
"Sekarang di Indosiar University, kita hanya harus belajar. Walau kasur sekeras batu, kita harus tetap tidur." Katanya.
Faul merespon dengan senyuman kotaknya ketika Gunawan menoleh, tidak tahu bahwa Randa sedang berusaha menahan tawa ketika mendengar celotehan Gunawan yang tiada akhirnya. Mungkin mereka masih sedikit canggung untuk bicara banyak, lain bagi kasus Gunawan, pemuda itu ajaib.
"Hei, Kawan, itu keren, bukan?" Gunawan masih mencoba sok akrab, namun yang didapatnya hanya senyuman sekilas, karena sebenarnya Faul dan Randa juga sibuk membenahi tempat tidur dan menata barang bawaannya.
Kemudian Gunawan menyerah, "Tidak ada yang mendengar kanku."
Hanya saja, otak Gunawan sedang lancar, satu kalimat diabaikan, nyatanya Gunawan masih memiliki kalimat lain untuk dikatakan. Kali ini lebih terdengar seperti sebuah kesepakatan.
"Kalau diantara kalian ada yang ngorok, beri tahu aku dulu. Jadi aku bisa menyumpal telingaku dengan kapas." Ujarnya lalu berjongkok di hadapan Faul dan Randa yang masih saja mengemasi barang bawaan mereka. "Itu karena aku suka tidur 8 jam dan memimpikan gadis-gadis cantik. Harap kalian maklum, terima kasih." Sambungnya.
Hanya berjarak tiga menit dari kalimat terakhir yang Gunawan ucapkan, pemuda itu kembali bersuara setelah mendengar sesuatu dari luar. Untuk kali ini berhasil mengundang perhatian Faul dan Randa. Ketiganya berjalan mendekati jendela besar karena penasaran.
Randa yang memimpin dengan membuka jendela bersegmen kayu tersebut.
Suasana sejuk langsung menyambut mereka, bahkan Faul dibuat menganga kala matanya menangkap keindahan danau yang diselimuti kabut.
Namun Gunawan menangkap hal yang lain, pemuda itu lebih tertarik pada seorang pria paruh baya yang membiarkan air mengaliri tiap celah jarinya lalu jatuh kembali pada danau. "Siapa dia?" Gunawan penasaran.
Randa yang mengerti siapa yang dimaksud Gunawan pun menjawab, "Dia kepala sekolah Indosiar University. Tuan Reza Zakarya."
Kemeja putih yang dilapisi jas almamater merah delima membungkus tubuh para mahasiswa baru Indosiar University yang dikumpulkan di aula utama. Mengenakan pakaian rapi sudah menjadi keharusan ketika mereka berada dalam lingkungan kampus. Celana bahan ke abu-abu an dengan dasi yang senada mengintip dari balik jas almamater. Mereka berjajar rapi dengan celah sekitar tiga meter di tengah, membelah tiap 6 banjar ke belakang.
Suasana masih ribut meskipun dosen pengajar sudah berjajar di sisi kiri depan. Bahkan Gunawan sempat-sempatnya mengunyah permen karet setelah sebelumnya menawarkan pada Randa dan Faul yang berdiri di samping kanan dan kirinya. Dua pemuda itu menolak karena takut, lagi pula mereka sedang berada di aula yang berarti Tuan Reza Zakarya akan tiba sebentar lagi.Sampai ketika tanpa sepengetahuan Gunawan. Tuan Reza Zakarya sudah berdiri di tengah platform yang langsung menghadap celah barisan mahasiswa, membuat Gunawan terpaksa menelan permen karetnya.
Suasana menjadi sunyi seketika. Tidak ada yang berani untuk sekedar berpaling dari tatapan tajam nan dingin kepala sekolah Indosiar University itu.
"Tradisi, kebaikan, dan disiplin,"
"Itulah tiga aturan utama kampus ini."
Reza Zakarya mengawali dengan suara tegasnya.
"Semua aturan yang membina masa depan kalian."
"Semua alumni kampus ini sudah meninggalkan contoh yang baik bagi kalian. Sekarang mereka sudah menjadi orang sukses dengan kemampuannya masing-masing."
"Ada yang jadi penulis terkenal, pengusaha sukses dan petinggi pemerintahan."
"Tapi yang membuat mereka seperti itu karena seumur hidup mereka mengikuti ajaran kampus ini. Sekarang, kalian diberikan kesempatan melakukan hal yang sama. Kalian dipilih dari pelosok negeri lalu dibawa kemari dengan keyakinan kelak kalian akan mampu meraih kesuksesan."
"Tapi tidaklah mudah meraih kesuksesan, dibalik kesuksesan selalu ada pengorbanan. Sekarang, setelah memasuki kampus ini, kalian harus meninggalkan dunia luar. Aku harap kalian semua tekun belajar dan mematuhi aturan yang ada di sini dengan baik. Jika ada siswa yang kedapatan melanggarnya, dia dengan segera dikeluarkan. Dan ingatlah, sekali kalian dikeluarkan dari sini, semua kampus lain tak akan ada yang menerimamu. Jika diantara kalian tidak ada yang mau berkorban, dia dipersilakan keluar dari kampus ini sekarang juga. Tapi jika kalian ingin tetap di sini, maka gerbang kampus dan dunia luar tertutup bagi kalian."
Reza Zakarya menjeda kalimatnya, mata tegasnya bergulir menatap jajaran mahasiswa yang berbaris tertib di sana. Merasa tidak ada yang keberatan, beliau menghela nafas lebih dulu sebelum berujar, "Sekarang pejamkan mata dan menunduk lah. Pikirkan setiap kata-kataku, lalu buatlah keputusan."
Hingga satu sekon setelah kalimat itu berakhir, semua mahasiswa menunduk bersamaan, memikirkan keputusan dalam suasana khidmat.
Tidak ada yang berbicara, entah karena takut atau kepalang terlibat. Masing-masing dari mereka mengantungi keputusan dalam diam, mencoba yakin tanpa tahu siapa-siapa saja dari mereka yang akan bergerak lebih dulu untuk melanggar.
Bersambung.....
Gmna menurut reader cerita jangan lupa vote, coment, share, dan follow akun ini ya guys.

KAMU SEDANG MEMBACA
Mohabbatein ( Versi Da dan Lida )
RomancePercintaan tak memiliki tempat di Indosiar University, kampus yang dipimpin seorang bertangan besi, Reza. Aturan ini terancam saat Fildan, guru musik baru, menyemangati tiga mahasiswa agar mengikuti kata hati mereka. Cerita ini di adaptasi dari film...