Prolog

109 23 1
                                    

September 2018

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

September 2018

Pria bersurai blonde itu menurunkan kaca jendela mobil yang ia tumpangi. Matanya melirik langit malam yang penuh bintang, sama cantik dengan bintang lain yang bertaburan di pipinya.

Ia mengerjapkan mata untuk menikmati hembusan angin malam yang menyapa wajah dan mengusak kasar rambutnya, sama sekali tidak peduli kalau esok harinya harus meringkuk seharian di kasur karena masuk angin. Pemandangan malam ini terlalu indah untuk sekedar ditinggal tidur.

Apa karena ini kali terakhir? Felix menggeleng lemah. Bersusah payah menolak kenangan yang tiba-tiba datang menyapa.

Felix benci menyadari fakta kalau kutukan itu ada, menelan satu persatu orang terdekatnya sampai ia harus membuat keputusan untuk menjauh dari kota, mengasingkan dirinya sendiri kedalam hutan.

Hidup sendiri ditengah hutan akan lebih baik daripada ia harus berpura-pura tak perduli akan kutukannya, menyaksikan bagaimana orang yang ia sayangi hilang satu persatu dari muka bumi. Felix sudah hampir gila merasakan sakitnya ditinggalkan. Dari keluarga, saudara, sahabat, teman-teman, bahkan kekasihnya, semua mati tepat di hari ulang tahun Felix.

Selamat ulang tahun? Tidak, ia bahkan lupa kapan terakhir mendengar kata-kata itu, ia tidak pernah menerimanya. Yang ia dapatkan di hari ulang tahunnya selalu sama. Ya, ucapan bela sungkawa.

Air mata tergenang di kedua matanya. Mengingat itu semua hanya membuatnya sakit. Ini kali terakhir, sudah cukup Felix merasakan penyesalan dan sakitnya ditinggalkan. Sekarang setidaknya biarkan ia hidup tenang sendirian di hutan.

 Sekarang setidaknya biarkan ia hidup tenang sendirian di hutan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Birth-dieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang