"Masa lalu bukan hanya jadi guru, namun pembanding dengan dirimu dan
kisahmu yang dulu."- Lantas -
---• 🎀 ~|†|~ 🎀 •---
Menjadi anak perempuan satu-satunya bukanlah hal yang mudah. Meskipun sejak dulu orang tuaku tak pernah sekalipun memaksaku melakukan sesuatu.
Karena kebebasan itulah aku membuktikan bahwa aku lebih dari yang mereka kira. Dan ketika aku ingin menunjukkan hal terindah yang kupikir akan terkenang begitu istimewa, ternyata hal itulah yang kemudian membuatku menyesal setiap harinya. Dengan luka yang menganga, juga mendung dan hujan menjadi pengiringnya.
Sudah dua hari sejak kepindahanku di daerah ini, aku mulai terbiasa bergerak tanpa merasa kecewa. Meski awalnya memang untuk menghindar dari alasanku yang mulai membenci hujan. Ah, aku jadi teringat rintiknya yang berisik itu terasa sukar di telingaku.
Bukan aku tak senang, aku hanya tak nyaman. Walaupun kuakui aroma khas setelah hujan memang begitu menenangkan.
Oh, iya. Namaku Kanaya Almaira, sebut saja tokoh utama dari cerita yang kubawa. Kuharap kalian tak kecewa setelah tau apa yang akan kuceritakan.
Tenang saja, ini tak rumit. Hanya saja, rasanya memang cukup sakit...
***
Kedengar suara jam berderik lebih cepat, seolah menyuruhku untuk segera keluar dari tempat ini. Aku menyambar beberapa pulpen yang terpajang dihadapanku sembarangan.
Tanganku beralih mengambil dua buah penghapus dan rautan juga. Kulihat keranjang di tanganku mulai memberat dengan bertambah penuh isinya.
Tanpa berlama-lama aku langsung menuju ke meja kasir untuk membayar seluruh belanjaanku. Lebih tepatnya barang-barang untuk keperluan sekolahku.
Ya, besok pagi adalah hari pertamaku di sekolah baru. Astaga, aku tak berpikir akan seribet ini. Sebenarnya bisa saja aku membeli ini dua hari yang lalu, tapi rasa malasku berhasil mengalahkan akal sehatku.
Huh.
Selesai membayar, aku menerima barang belanjaan yang tadi kubeli. Terhitung ada dua kantong plastik yang tak terlalu besar di tanganku sekarang.
Aku berjalan keluar dari mal tempat biasa aku membeli keperluan. Letaknya memang cukup jauh dari rumah lamaku, namun sekarang dengan berjalan kaki saja aku sudah bisa menikmatinya.
Sore ini cukup mendung, tapi sepertinya tidak cukup untuk segera menjatuhkan bulir-bulir hujan.
Jalanan setapak yang kulalui terasa lembab dan sejuk. Kulihat juga ramainya jalan yang dipenuhi bermacam-macam kendaraan.
Tak jarang juga aku melihat pesepeda yang menyalip mobil di sekitarnya. Juga pejalan kaki sepertiku yang berjalan santai sendiri atau bersama pasangannya.
Tidak terasa sudah setengah jalan aku menjauh dari mal sebelumnya. Aku merapatkan kardigan rajut yang kupakai setelah sesaat angin berhembus menerpaku.
Aku menyipitkan mata. Sekilas kulihat ada sesuatu yang begitu menarik di sana.
Bukankah itu toko bunga?
Entah apa yang kupikirkan, kaki ini menuntunku ke sebuah tempat bernuansa vintage. Dari luar aku sudah disambut beberapa pot besar berisi rangkaian bunga. Tanpa berlama-lama aku langsung menerobos masuk ke dalamnya. Mataku mengerjap, menyapu pandanganku ke seluruh ruangan.
Tempat ini mengingatkanku pada satu nama. Aku terpaku, meremas pelan ujung kardiganku. Huft, memikirkannya membuatku ingin menangis.
Aku menaruh barang-barang belanjaanku di sebuah rak dekat pintu. Kemudian berkeliling, sembari aku mencari bunga yang akan kubawa untuknya. Hm, tempat ini cukup menenangkan. Suasana yang dingin dan lumayan sepi seolah membuatku merasa ada dalam ruangan privat.
Bunga-bunga di sini berjejer rapi. Begitu memanjakan mata, seolah merayu meminta ingin dibeli. Hingga tatapanku jatuh pada satu pot bunga yang tak jauh dari tempatku berdiri.
Aku mendekat, kuusap kelopak berwarna putih itu. Cantik sekali, sama seperti kesukaan seseorang yang sedang kupikirkan.
Aku tersenyum. Kuraih beberapa tangkainya, lalu mengendusnya perlahan sebelum akhirnya kubawa pulang.
Belum sempat aku berbalik, hidungku meraup sebuah aroma yang tak sadar membuatku terpaku.
Wanginya segar, namun terasa dingin dan ... hangat.Aku hanyut dalam aromanya, sampai tak sadar ponselku berdering beberapa kali menunjukkan dua panggilan tak terjawab dari Jessie, sahabat yang tinggal bersamaku.
"Halo?" Aku menempelkan ponsel di telinga kananku.
Aku membalikkan tubuh karena ingin melihat parfum milik siapa tadi. Tapi hanya kutemukan dua pria, dan satu ibu-ibu di sana, juga seorang laki-laki tinggi yang mengenakan sweater abu-abu gelap di meja kasir.
"Halo? Nay, kok blom pulang sih? Lo nggak nyasar, kan?" tanyanya heboh.
Aku mendengus, kembali terfokus pada telepon dan bungaku. "Enggak," balasku singkat.
Kudengar Jessie kembali membalas dengan jawaban yang lebih panjang, seperti biasanya. Sambil mendengarkan anak itu menyebut beberapa makanan, aku berjalan menuju kasir.
Klik!
Langkahku langsung terhenti saat kurasa menginjak sesuatu. Aku menyipitkan mata, lantas mengambil benda tersebut.
Ternyata jepit rambut.
Aku mengedarkan pandanganku, tapi sepertinya tak ada yang terlihat meyakinkan membawa jepit ini masuk ke dalam.
Lalu, ini milik siapa?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Lantas
Teen FictionAkan kuceritakan sedikit kisah lama tentang dia. ...laki-laki berkalung salib yang pernah menggenggam tanganku yang terurai sebuah tasbih... Nathan. - 🎀 - Bulan Juni 2021 Kendhita Dhea (Plagiat? Dupak!)