Part 14 : Cowok Misterius

27 6 3
                                    

Ini hari ketiga Zahara tidak masuk sekolah. Saat Nadia kembali menjenguk, kondisinya sudah cukup membaik. Namun, ia masih harus menjalani perawatan intensif di rumah sakit. Mungkin besok atau lusa ia baru diperbolehkan pulang.

Nadia berdiri di pinggir jalan dekat kompleks perumahan elit kediamannya dengan gusar. Setelah berhasil meyakinkan Bu Tania--ibunya, bahwa ia akan baik-baik saja berangkat sekolah dengan menumpang angkutan umum, ia pun berangkat dengan tergesa. Wanita 45 tahun yang selalu tampil modis itu tak lagi mempermasalahkan hijab Nadia setelah Naufan--putra sulungnya, bantu meyakinkan.

"Aku malah senang Nadia berhijab dan akan lebih senang lagi kalau Mama juga mulai menutup aurat. Setidaknya itu akan meringankan hisabku sama Papa di akhirat kelak, sebagai anak lagi-lagi dan suami Mama," ucap Naufan kala itu seketika membuat Bu Tania terpaku.

Sejak saat itu, Bu Tania tak lagi menghalangi Nadia untuk berhijab. Sebaliknya ia merasa malu dengan dirinya sendiri yang masih belum tergerak untuk menutup auratnya. Ia masih betah berpakaian modis. Baginya, hijab itu nggak fashionable. Apa kata teman-teman sosialitanya nanti kalau ia berhijab?

Ya, Bu Tania masih belum menyadari bahwa menutup aurat adalah kewajiban yang tidak bisa ditawar lagi. Wajib ditaati tanpa tapi, tanpa nanti, sebab merupakan perintah Allah. Allah saja tak pernah absen memberi nikmat pada hamba-Nya. Tidakkah kita malu jika hanya untuk sekadar penuhi titah-Nya, masih saja beralasan?

Nadia memang sengaja memberhentikan Pak Danang sebagai sopir pribadinya dan mengalihkannya menjadi sopir pribadi Pak Andy, ayahnya. Ia pun menolak untuk dipesankan taksi online oleh Bu Tania.

Pagi itu, Naufan sedang tidak bisa mengantar adiknya ke sekolah. Semalam ia lembur mengerjakan skripsi, sehingga sehabis shubuh ia tumbang karena rasa kantuk yang tak tertahankan. Nadia pun tak sampai hati untuk membangunkannya. Sementara, Pak Andy sejak semalam belum pulang dari bertugas di rumah sakit jiwa miliknya. Ada pasien yang mengamuk dan butuh penanganan.

Berkali-kali Nadia melirik jam tangannya. Sudah hampir 10 menit yang ia tak kunjung tiba. Kawasan perumahan elit itu memang jarang dilalui angkutan umum. Beberapa pengendara ojeg online yang kebetulan lewat menawarkan tumpangan yang langsung ditanggapi oleh Nadia dengan gelengan kepala.

'Yah... bisa telat nih gue,' batinnya. Ia semakin gusar.

Sebuah ninja merah melaju di hadapan Nadia. Sekilas, sang pengendara tampak tersenyum dari balik helm yang dikenakannya sebagai bentuk sapaan pada gadis berhijab yang berdiri di pinggir jalan itu, pertanda bahwa mereka saling mengenal.

'Zulfan ... Tak mungkin juga dia menawarkan tumpangan. Ia juga pasti paham hukum khalwat,' bisik hati Nadia seraya menatap ninja merah itu berlalu dari hadapannya.

Sebuah Ferarri hitam tiba-tiba berhenti di hadapan Nadia. Tampaklah sosok Radit di dalamnya kala kaca mobil itu terbuka.

"Sohib lo masih sakit?" tanyanya dengan wajah datar.

"Maksud lo Zahara?" Nadia balik bertanya.

"Siapa lagi?"

"Hmmm ... iya. Dia belum bisa masuk hari ini," jawab Nadia.

Manik netra Nadia seketika membulat ketika pintu Ferarri tersebut terbuka.

"Ayo masuk!"

"Hah?" Nadia menatap heran ke arah pintu yang terbuka itu.

'Radit ngajak gue berangkat bareng. Nggak salah?' pikirnya.

"Lo nggak mau telat, kan?"

Suara Radit kembali mengejutkannya. Sekilas ia melihat mata elang cucu pemilik Yayasan Pertiwi itu menatapnya.

Muhasabah Putih Abu (Terbit ✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang