8. Oleh-oleh buat Kak Jaemin

302 56 5
                                    

"Selamat pagi menjelang siang, Mister!"

"Pagi juga, Pak Arta!"

Langkah kaki bapak tertatih melewati setiap lingkukan jalan kecil menuju tengah sawahnya. Ia melihat teman seperjuangan, Pak Asep, tengah berpeluh keringat menyeka di tengah panasnya matahari pagi ini.

Bapak berhati-hati, takut kakinya terjerobos dan masuk ke tanah yang penuh lumpur. Tangannya menenteng capil, setelah dirasa matahari mulai mendekat ke atas kepala, bapak memakai capilnya.

"Kapan nih datangnya, Mister?" tanya bapak ke pak Asep. Dia berdiri berkacak pinggang memandangi sawahnya yang sudah mulai menguap karena panas matahari.

"Kurang tau e, Pak. Katanya bakal ke sini pagi."

"Weh, kurang ajar. Kalau sampe ke sini siangan, terus minta makan, nggak tak kasih lah."

Pak Asep memicing. "Kenapa?" tanyanya, hanya ditanggapi gendikkan bahu oleh bapak.

Bukannya bapak pelit, tapi dia paling tidak suka sama orang yang telat waktu dan akhirnya meminta imbalan lebih.

Bapak menghampiri pak Asep, turut membantu membersihkan sisa-sisa daun padi yang berantakan dan belum sempat disisihkan. Ingin membuangnya di sisi kanan, itu lahan kosong yang dulunya dibuat petani untuk menanam daun jeruk, namun sekarang sudah tidak karena tak ada yang merawat. Sebuah traktor yang cukup lumayan, mendekat melewati jalan setapak kecil memutar dari jalan utama ke belakang kebun. Traktor itu turun berhati-hati, dengan arahan bapak yang layaknya seperti tukang parkir profesional.

"Telat, Mas. Udah jam berapa ini?" Bapak bertanya dengan raut muka menuntut. Sopir traktor yang masih muda itu hanya terkekeh perlahan. "Maaf, Pak. Tadi ngadat dulu ini traktor," jawabnya yang entah jujur atau berbohong.

Traktor kecil itu mulai membajak sawah, bapak dan pak Asep hanya memandanginya dengan seksama. Beberapa putaran sampai tanah itu mulai gempar dan terlihat tak acak-acakan kembali.

Traktornya mulai melirih, berputar balik agar bisa naik ke atas. Waktu membajaknya tak lama, mungkin hanya limabelas sampai duapuluh menit. Diparkirnya traktor itu di lahan kosong sana. Pemuda tadi turun menyeka keringat dan merilekskan tangannya yang terasa tegang dan sedikit pegal. Dia berjalan pelan menghampiri bapak dan Pak Asep yang sedang duduk santai di gubuk.

"Sudah, Pak. Dijamin semuanya gembur!" ujarnya bangga dan seakan yang paling handal dalam masalah ini.

Bapak menepuk sisi kiri tempat kosongnya, mengeluarkan sesuatu dari balik saku celana. Sebuah korek dan sebungkus rokok. Dia menyodorkan ke pemuda itu, diambil dengan penuh sopan. Pucuk rokok disulut dengan api, disesapnya dengan perlahan sampai merasakan tembakau itu menusuk paru-parunya.

"Kopi masih panas," titah Pak Asep sambil menahan rasa panas gelas itu. Dengan cepat dia pindahkan gelasnya dari teko air ke nampan kecil.

"Jam berapa ini?" tanya bapak saat melihat matahari mulai meninggi.

"Jam sembilanan, lah..."

"Mari, Pak. Saya pulang dulu, belum sarapan nih. Laper banget," ucap pemuda itu seperti mengkode sesuatu. Bapak langsung paham, dia hanya mengangguk lesu, mengeluarkan beberapa lembar uang untuk membayar pemuda itu.

"Makasih,"

"Mari..."

Di lain halnya, bapak teringat akan Renjun yang hari ini mengikuti lomba.

Beralih ke Renjun, laki-laki kecil manis yang memainkan jari-jari. Dahinya mengernyit geram, menunggu sendirian di kursi penonton yang entah ada penghuninya atau tidak.

1. The Best Step Brother | JaemRen ✓Where stories live. Discover now