10. Memori Bapak

269 46 12
                                    

Malam senyap, tak ada suara kecuali bunyi krusukan radio yang berantena semut. Terombang-ambing dalam kegundahan hujan rintik deras. Angin berembus dari selatan, menatap atap ranting dedaunan, mematahkan pokok-pokok daun mangga, ikut terbawa jauh ke utara.

Meski tengah hujan, bulan bulat masih terang, memancarkan cahayanya dikala awan hitam bergerombol menjadi satu. Terang, sehingga bapak memiliki rasa ingin mendengarkan radio di depan teras. Matanya melesu, menatap rembulan nan jauh dipandang. Tangan kanannya memegang satu singkong goreng manis dan ditemani secangkir kopi hitam pekat.

Entah apa yang menjadi pikirannya, bertabrakan dengan segala teka teki dunia. Tenggorokannya berserak, tersangkut tangkai singkong lunak panjang. Riaknya keluar, menyesap dalam-dalam ujung cangkir kopi itu.

Akhir-akhir ini, kucing hitam bergariskan warna putih selalu tidur di depan pintu. Putihnya gelap, mungkin karena suatu abu menempel di sana. Perutnya membesar, tengah mengandung anak dari kucing tak tahu adab. Sesekali bapak melempar singkong itu sampai mengenai kepala si kucing. Dimakannya singkong tadi penuh rasa hormat dan sopan santun. Tak ada bentuk rasa rakus dari kucingnya.

Blereng, nama kucing tadi telah usai memakan satu singkong cukup besar, dia berlenggong pergi dengan gaya bak Raja yang tengah kekenyangan memakan seluruh tubuh si Dayang. Bapak sedikit geram, kucing itu hanya datang jika lapar saja dan pergi saat perutnya telah penuh makanan.

Matanya menatap lagi rembulan yang semakin hilang termakan awan hitam. Dia menghela nafas, membuang seluruh isi cangkirnya. Langkahnya turun, membawa piring dan cangkir yang sudah tidak terisi apa-apa. Membiarkan radio itu berkerusuk sendiri mencari antena semutnya.

Sepanjang kehidupan bapak yang sudah berpuluh-puluh tahun, dia tak pernah melihat bagaimana cara kucing melahirkan. Mendengar suaranya saja sudah pening, apalagi harus melihat, tentu saja semakin mendekat dengan suara berisik itu.

Ya, namanya juga Blereng. Si kucing jalanan, asongan, dan kucing pungut lainnya yang tak pernah sekolah, bagaimana cara menghargai sesama makhluk hidup. Tak habis pikir saja begitu. Memelihara kucing selama lima tahun waktu SD, itu masih wajar. Namanya juga anak-anak, dan kini telah dewasa, memelihara kucing adalah kegiatan yang membuang waktu, lebih baik bekerja.

Tiba-tiba bapak ingat dengan Jaemin, anak laki-lakinya yang telah dewasa, melewati masa remaja dengan segala lika-liku kehidupan. Dia tak menyangka, kehidupannya dulu sangat berbeda dengan kehidupan sekarang. Menginginkan Jaemin bisa hidup sepertinya waktu lalu. Mustahil, dunia telah merencanakan sesuatu yang mencengangkan.

Anak itu tengah tertidur, dengan adiknya yang berada di sisi kiri sampingnya. Meringkuk kedingingan, memeluk dirinya sendiri. Bapak tersentuh, didatanginya anak itu. Mengambil sebuah sarung di atas lemari tinggi yang mungkin saja tak bisa anaknya raih. Dilebarkannya sarung tersebut, diselimutkan ke tubuh yang sedang meringkuk. Ia beralih menatap Jaemin, tidur dengan biasa, karena anak itu sudah terbiasa dengan dinginnya malam.

Rintik hujan mulai mereda, membuat burung-burung gagak, pipit saling bersautan dengan kawanannya. Memperebutkan tahta, singgasana, menguasai sang betina untuk diperebutkan.

Malam dengan segala bunyi keanehan, terutama bunyi radio yang semalaman terus berbunyi. krsskk....brrt.... Begitulah sampai terus menerus hingga sepanjang malam.

•••••

Ingat, harus berperi kehidupan manusia. Nasib itu hanyalah hal biasa. Semua orang mempunyai nasib sendiri-sendiri, hanya saja dengan versi yang berbeda setiap orangnya. Maka dari itu, jangan sok menjadi orang yang terkesan biasa saja. Tidak ada tahta tertinggi.

Sama halnya dengan perempuan muda berjalan kembali dengan tangan kosong. Dia menetapkan ini semua dengan sangat matang. Langkahnya tergerak, menunduk melihat jalanan bergeronjal.

1. The Best Step Brother | JaemRen ✓Where stories live. Discover now