"Jaemin... Bapak minta sekali lagi, mau cek ya ke dokter?"
Suara bapak terus menganggu Jaemin. Pria tua baya memakai baju hitam dan celana sawah kotor itu menyodorkan kertas kecil dari dokter. Jaemin pusing, dia tak mengerti bagaimana bapak tetap memaksanya untuk cek. Bukannya Jaemin tidak mau, dia sangat mau, tapi Jaemin sudah kehabisan semangat.
"Nggak usah, Pak. Nggak ada gunanya juga Jaemin cek kalau nggak ada hasil," jawab Jaemin dengan pandangan datar. Bapak menghela nafas, mengangguk lelah akan setiap tolakan Jaemin.
"Makasih udah ngertiin ekonomi bapak." Bapak memutar badannya membelakangi Jaemin, raut muka kecewa dan kesal sangat terpancar di sana. Jaemin merasakan tidak enak, dia mencekat tangan bapak, memperlihatkan kerling matanya.
Jaemin memang sayang dengan bapak, sayang sekali. Namun Jaemin tak enak juga kalau dia harus merepotkan bapak terus menerus.
"Maaf, Pak. Tapi aku emang benar-benar menyayangkan hal itu. Bapak pikir coba. Empat tahun Jaemin kaya gini, ada perubahan? Enggak."
Bapak tahu itu. Dia menunduk, turut duduk di kasur membelakangi Jaemin kembali. Pandangannya menatap pigura di dinding dengan poto keluarga sekitar tujuh tahun lalu. Perempuan cantik, pria tampan gagah, dan laki-laki remaja berdiri di tengah mereka. Ibu, bapak, dan Jaemin.
"Kamu ingat poto itu?" tanya bapak dengan jari menunjuk poto tersebut.
Jaemin mengangguk. "Lima jam sebelum bapak kecebur got," ucap Jaemin santai. Itu membuat bapak terkekeh kecil.
"Iya, jangan sebarkan aib itu ke Renjun, nanti pandangan dia ke bapak jadi berubah."
"Ibu masih cantik..."
Bapak berjalan mengambil poto itu, dia pandangi lekat-lekat. Ada perasaan kerinduan yang sangat mendalam. Merindukan momen-momen dulu saat keluarganya masih utuh.
"Ibumu berpesan ke bapak. Kamu harus sembuh, bisa ceria lagi, bisa sekolah tinggi."
Iya, Jaemin ingin melanjutkan pendidikannya. Bapak bilang, kerja ikut orang itu tidak enak, apalagi buruh, kerjaannya hanya mendengarkan kalimat suruhan saja. Dulu waktu Jaemin mau masuk SMA, bapak suruh dia buka bisnis depan rumah, buat makanan kecil-kecil, tapi akhirnya bapak melarang.
Usapan jari bapak ke poto itu sangat menggambarkan bagaimana kerinduannya terhadap hangat pelukan ibu. Semenjak ibu sudah tak ada, bapak jadi tidak terurus, seperti anak kecil, dan suka membantah perintah Jaemin.
"Maafin bapak, Buk. Belum bisa wujudkan apa yang ibuk inginkan," ucap bapak. Dia menunduk, terisak pelan meneteskan air matanya tepat di atas poto itu. Jaemin benci melihat seseorang menangis, terlebih lagi orang yang dia sayang. Tangannya bergerak mengusap punggung bapak, ikut terbawa suasana dan mengingat masa-masa di mana mereka bertiga tertawa bersama, saling memeluk memberikan kehangatan.
"Udah ya, Pak. Ibuk di sana pasti paham, tau gimana keadaan Jaemin saat ini."
"Tau keadaan bahwa kamu masih lumpuh?! Jaemin, sampai kapan kamu kaya gini? Sampai umur kamu udah tua? Sampai kamu punya anak istri? Sampai kamu bisa ngurus bapak kalau bapak udah tua dan bisanya cuman ngedeprak di atas tempat tidur?!" Bapak berteriak, mengalihkan antensi Jaemin yang tak sanggup menatap bapak. Dia terdiam, sulit untuk menjawab satu persatu pertanyaan bapak yang datangnya main keroyokan.
"Semua pertanyaan bapak nggak ada jawabannya,"
"Terserah kamu."
-
Anak berbaju putih biru memakai topi dengan dibalik. Itu Renjun, dia berdiri memegangi perutnya di depan pintu kamar mandi, menunggu bapak dengan jurus seribu pertahanan melawan rasa sakit perutnya. Renjun memasang raut muka tak enak, dia berjongkok, berdiri, berputar-putar. Ingin mengetok pintu, tapi tak enak jika harus menganggu bapak. Renjun tau bagaimana rasanya diganggu saat sedang fokusnya.
YOU ARE READING
1. The Best Step Brother | JaemRen ✓
Fanfiction"Mereka sempurna dengan caranya sendiri." Segala sesuatu berawalan manis, akan berakhir menjadi pahit. Minggu, 03.00 "Kak Jaemin, terimakasih telah memberikan kelebihanmu kepadaku..."