Angin bertiup pelan, menggoyangkan tangkai bunga liar, membuat rambutku berantakkan. Tapi entah kenapa aku seperti tidak ingin merapikannya. Berantakan, ya sudah. Beberapa dandelion liar terbang mengikuti arah angin.
Aku sejak kecil terbiasa menyebut dandelion sebagai Bunga Angin karena ia akan terbang mengikuti arah angin. Kenapa dandelion tidak terbang semaunya saja? Kalau mengikuti arah angin, ia tak tentu mendaratnya. Dan boleh jadi, itu lebih buruk.
Tapi, para dandelion itu melepaskan dirinya. Ikhlas akan diterbangkan kemana pun. Tak masalah. Tak apa. Keindahan dandelion memang sering kusaksikan sejak kecil. Di dekat rumah lamaku, ada bukit kecil yang ditumbuhi dandelion sepanjang setengah lutut. Terkadang aku memakan camilan atau bersembunyi disana. Selalu menyenangkan.
....
"Soona, ayo pulang." Ibu berseru pelan dari bawah bukit. Aku mengangguk kecil, menuruti perintah Ibu. Walau sebenarnya, aku masih ingin berada di tengah dandelion cantik itu.
"Kenapa kamu sulit sekali di rumah, Soona? Aduh, di luar itu berbahaya. Kenapa kamu tidak di rumah, membaca buku seperti kakakmu?" Ibu mengomeliku saat aku masuk rumah, mencuci tangan.
"Kakak memang tidak pernah keluar rumah," kataku acuh. "Karena kakak bisa sakit kalau kena matahari, aku tidak." Kataku bersungut-sungut, tidak suka diomeli. "Soona..! yaampun, minta maaf, Soona!" seru Ibu. Aku menggeleng sebal.
Ibu menahan seruan kesal. Kakak hanya menatap datar.
Besoknya
Hari ini seperti biasa aku berlari di tengah padang dandelion yang luas. Ah, menyenangkan sekali rasanya. Sepertinya kata kataku pada kakak memang sangat keterlaluan.
Aku tergores ranting kayu yang tajam. Langkahku limbung, lantas ku terjatuh. Jatuhnya sama sekali tidak sakit, yang sakit itu kakiku yang tergores. Aku mengaduh kecil. Tidak mungkin aku berjalan dari sini ke rumah dengan kaki seperti ini. Aku memutuskan untuk tetap diam.
Mungkin beberapa saat lagi sudah tidak sakit lagi.
"Kenapa kamu duduk?"
Seseorang bertanya. Aku kaget. Wajahku pucat karena kakiku masih sakit dan kaget. Anak itu mengernyitkan dahi. "Kalau kakimu sakit harusnya kamu pulang, bukan duduk." Katanya sok bijak, ikut berjongkok. Mengelap darahku dengan ujung bajunya.
"Bagaimana aku bisa pulang? Kakiku berdarah, tahu!" kataku sambil sedikit meringis karena perih. Dia bangkit berdiri, membelakangiku, "Kamu pasti Soona, aku akan memberi tahu ibumu."
"Eh, jangan! Jangan lakukan!" seruku. Anak itu mengernyit. "Kalau ibuku tahu aku terluka aku akan kena marah. Tolong, bantu aku." Kataku memelas. "Hmm.. baiklah." Anak itu mengangguk, merogoh sakunya.
"Kenapa kamu tahu namaku?" aku bertanya. "Tentu saja aku tahu," jawabnya sambil sibuk membuka plester. "Kamu satu satunya anak perempuan berambut pendek di sini, tentu saja." Ia menempelkan plester hati hati.
"Nah, sudah." Ujarnya tersenyum. dia lekas pergi. "Siapa namamu?" tanyaku sedikit berteriak. "Aku? Aku adalah anak perempuan paling cantik di desa ini, Yubi." Dia tertawa kecil dengan kalimatnya, berbalik belakang, berlari. Dari belakang, rambut panjangnya yang terkepang bergerak gerak mengikuti gerakannya.
...
"Kenapa kakimu diplester?" Ibu bertanya tajam saat aku membuka pintu rumah. "Tergores," jawabku ciut. "Oh, baguslah. Mungkin kamu akan mengurangi kebiasaan jalan jalan ke luar." Kata ibu. "Tidak juga," gumamku sambil menaiki anak tangga.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐓𝐀𝐋𝐊𝐋𝐄𝐒𝐒 𝐄𝐍𝐃𝐈𝐍𝐆 // 𝙨𝙪𝙣𝙛𝙡𝙤𝙬𝙚𝙧𝙨𝙩𝙚𝙥𝙨
RandomKau tahu? Aku tidak terbiasa menulis cerita yang ringan. Rasanya mengganjal ketika aku menulisnya, seolah cerita ini tidak akan menyenangkan. Tapi kemarin-kemarin aku menyadari, ada beberapa orang yang menyukai cerita jenis ini. Jadi, baiklah. Aku a...