8. Khilaf

7.4K 1.3K 145
                                    




"Dek, Abang udah di bawah," ucap Hilman saat meneleponku.

"Oke, tunggu bentar, Bang." Aku langsung bergegas memakai sandal hotel dan turun untuk menjemputnya. Tentu saja dia datang untuk sarapan, bukan seperti ucapannya semalam yang ingin menginap di sini. Semalam Hilman menelponku, katanya dia akan menginap di kontrakan temannya yang tidak jauh dari Mabes karena siang nanti baru bisa check-in hotel.

Saat sampai di lobi aku melihatnya sedang duduk menungguku, padahal baru beberapa hari tidak melihatnya, aku sudah kangen saja. Pagi ini ia mengenakan celana jins hitam dan kaos berawarna cokelat tua dengan sneakers putih yang melapisi kakinya. Dia tersenyum padaku, wajahnya terlihat lelah, mungkin karena semalam ia baru sampai di kontrakan temannya pukul satu malam.

"Yuk, sarapan," ajakku.

"Iya, udah laper ini," jawabnya.

Kami berdua memasuki restoran hotel kemudian mengambil makanan untuk sarapan. Hilman memilih nasi dan segala lauk-pauknya sebagai sarapan. Ya, dia kan terbiasa makan porsi besar. Sedangkan aku hanya mengambil buah dan salad saja.

"Capek banget kayaknya, Bang."

Dia menelan makanannya lebih dulu sebelum menanggapi ucapanku. "Baru tidur jam tiga pagi."

"Lah, ngapain aja? Begadang?"

"Ya namanya ketemu temen, nggak mungkin bisa langsung tidur. Cerita dulu lah sampai pagi," jawabnya.

Ini sih yang berbeda dariku, kalau aku jujur saja tidak akan tahan begadang seperti dirinya. Kalau memang waktunya tidur aku akan tidur. Ingat waktu aku menghabiskan malam tahun baru bersama teman-temanku, mereka begadang sampai subuh sedangkan aku memilih untuk langsung tidur begitu jam menunjukkan pukul dua belas lewat lima belas menit.

"Temen satu angkatan?" tanyaku lagi.

"Bukan, junior. Bagian monitor di sini."

"Orang Palembang?"

"Iya. Cuma kerjanya di sini buat kasih informasi ke tim di Palembang. Dia main alatnya di sini," jelasnya.

"Oh gitu. Enak dong cuma bagian main alat aja, kan? Nggak turun nangkap juga kayak Abang?"

Hilman mengangguk. "Ya jam kerjanya lebih lama. Seharian nantenngin laptop, tapi sehari kerja sehari libur gitu. Abang waktu itu ditawarin. Enak sih ada tambahan gajinya lagi."

"Terus Abang kenapa nggak mau?"

"Adek mau ditinggalin ke Jakarta?" Dia balas bertanya. Ya tentu saja aku langsung menjawab tidak mau. Dalam bayanganku mungkin pekerjaan junior Hilman di sini itu seperti yang ada di film-film, bagian melacak lokasi, menyadap percakapan bandar, ya intinya mencari informasi sebanyak mungkin untuk target yang akan mereka tangkap.

"Terus Abang ke sini cuma berdua aja sama Bang Rendra?"

Hilman mengangguk.

"Kanya mau extand aja rasanya. Pulangnya nanti hari rabu atau kamis," ucapku padanya.

Kini nasi dipiringnya telah habis, kemudian beralih mengambil buah di piringku. "Kenapa?" tanyanya.

"Males banget nggak sih ketemu banyak orang di acara Erina. Pasti nanti ditanya kapan nikah sama mereka."

Hilman tertawa. "Ya jawab aja tahun ini."

"Ya tahun ini tuh bulan berapa, tanggal berapa?" kataku kesal.

            Hilman kembali memasukkan potongan melon ke mulutnya. "Ya nantilah tunggu aja undangannya."

            Aku mengembuskan napas. Hilman menatapku kemudian mengusap punggung tanganku sekilas. "Udalah, jangan dipikirin banget."

Happy Ending?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang