14. Bertemu Mamanya

5.9K 1.2K 44
                                    




Setelah pembicaraan Hilman dan ibuku malam itu, akhirnya aku merasa lebih tenang. Menurutku kalau ia sudah bicara langsung pada ibu artinya dia benar-benar serius, laki-laki itu kan yang dipegang ucapannya. Sebelum ini laki-laki yang dekat denganku hanya mengumbar janji saja, tidak pernah ada yang sampai berani bicara pada ibuku. Sekarang tinggal menunggu langkah selanjutnya, kata Hilman sih dia ingin bicara dulu pada mamanya, setelah itu baru ia akan kembali lagi menemui Ibu untuk membahas masalah tanggal pernikahan. Jujur yang kurasakan sekarang selain lega, juga ada rasa deg-degan.

            Beberapa hari yang lalu Hilman bercerita kalau mamanya akan ulang tahun, tepatnya besok. Aku sudah mempersiapkan kado, jujur ini bukan karena aku ingin mengambil hati ibunya atau apa, tetapi memang ketika ia bercerita tentang ulangtahun mamanya, aku ingin saja membelikan sesuatu, apalagi Hilman juga mengajakku untuk ke rumahnya, katanya aku harus mulai mendekatkan diri dengan mama.

            Jujur saja, aku bingung kalau diminta untuk mengakrabkan diri. Memang, aku orang yang lumayan supel, tetapi kepada yang usianya tidak jauh berbeda denganku. Kalau untuk yang lebih tua, aku tidak tahu cara memulainya. Aku tidak seperti Jihan yang mudah menemukan topik pembahasan, kuakui ia luar biasa sekali kalau soal mendekatkan diri, hampir kepada semua orangtua temannya Jihan memiliki kedekatan yang istimewa. Sedangkan aku, mirip-mirip Nabila.

            Aku tidak bisa sok kenal sok dekat, yang ketika bertamu langsung masuk ke dapur terus membantu mencuci piring, padahal di rumah saja aku jarang melakukan itu. Dan sekarang aku bingung sendiri harus bersikap bagaimana. Sementara Hilman sudah dalam perjalanan kemari untuk menjemputku.

            Aku menarik napas dalam-dalam kemudian mengembuskannya perlahan, mencoba untuk menenangkan diri. Ini memang bukan pertemuan pertamaku dengan mamanya, kalau dihitung-hitung ini adalah peretemuan ketigaku dan aku masih belum memahami mama Hilman. Yang aku tahu, mamanya hobi bercerita karena setiap aku ke sana ada saja yang menjadi topik pembahasan. Kalau kata Hilman sih, mamanya cerewet.

            Aku membuka pintu depan, saat melihat mobil Hilman sudah terparkir rapi di depan pagar rumahku. Dia keluar dari mobil kemudian membuka pintu pagar. Siang ini ia mengenakan pakaian santai seperti biasa, kaos warna putih dan celana jins berwarna biru tua. "Udah siap?" tanyanya.

            Aku mengangguk sebagai jawaban. Aku sudah siap dengan dress midi berwarna coklat muda, model A line, dengan rambut yang sudah ditata rapi juga make up tipis. Tadinya aku ingin mengenakan celana jins, tapi kupikir nanti terlalu ketat. Jadi teringat cerita salah satu temanku yang tidak direstui oleh orangtua pacaranya karena saat bertemu untuk pertama kali ia mengenakan legging ketat. Kalau aku mengatakan ini di sosial media pasti banyak yang kontra. Karena menurut sebagian orang apapun jenis pakaianmu, itu kan hakmu. My body my rules, katanya.

            Namun, pada kenyataannya banyak orang yang masih melihat kesopanan dari cara berpakaian. Kalau menurutku sesuaikan dengan tempat saja sih, kalau di kolam renang ya menggunakan baju renang, tetapi kalau ingin mengurus paspor atau dokumen lain apalagi ketemu calon mertua tentu harus berpakaian yang rapi.

            "Abang mau makan pempek dulu, deh, laper," ucapnya padaku. Sudah kuduga hal ini akan terjadi, makanya aku sudah menyiapkan pempek untuknya. Di dalam frezeer kulkasku memang penuh dengan pempek yang sudah aku siapkan untuknya, selain untuk kami konsumsi sendiri tentunya.

            Aku kembali ke ruang tamu dengan membawakan sepiring pempek bersama dengan cukonya. "Asikkk makan pempek." Wajah girangnya melihat pempek sangat menggelikan, seperti anak kecil yang diberikan permen.

            "Abang... abang... nggak bosen-bosen makan pempek," ujarku.

            "Nggak mungkin bosen lah makan ini," katanya yang sudah memasukkan pempek kedua. Aku yakin dalam hitungan menit sepiring pempek ini akan berpindah ke perutnya.

            "Alhamdulillah, kenyang," ucapnya kemudian menegak air mineral yang sudah aku siapkan. Benar dugaanku dalam sekejap piring berisi pempek itu ludes.

            "Abang Kanya deg-degan," ucapku jujur.

            "Kenapa?" tanyanya.

            "Mau ketemu Mama."

            "Adek nih, giliran diajak ke rumah deg-degan. Giliran nggak diajak nanyain terus."

            Aku menggaruk kepala yang tidak gatal, benar juga sih apa yang diucapkannya. Tetapi wajar saja kan aku merasa seperti ini ketika bertemu calon mertua? Apalagi semalam aku membaca cerita-cerita tentang mertua yang menindas menantu. Nyaliku makin ciut.

*****

            Aku sering membaca novel yang menceritakan kalau orangtua pasangannya menerima si perempuan dengan senang hati, bisa dikatakan kelewat ramah sekali. Bahkan ada yang statusnya masih belum jelas saja sudah ditanya kapan akan menikah, mungkin dulu aku senang-senang saja membaca tulisan seperti itu, sambil berharap kalau hal itu akan terjadi padaku. Tetapi, setelah usiaku bertambah dan makin banyak melihat sekitar, rasa-rasanya orangtua seperti itu langka sekali.

            Makanya kali ini aku begitu cemas. Lebih dari pertemuan pertama dan kedua, karena pada pertemuan kali ini, Hilman membawaku sebagai calon istrinya. Menurut pengamatanku, Hilman sangat menyayangi mamanya, dekat sekali malah. Begitu pula dengan mamanya, karena Hilman juga anak bungsu, dua kali bertemu, aku bisa melihat bagaimana interaksi ia dan mamanya. Manja mungkin kata yang tidak berlebihan untuk menggambarkannya.

            "Kenapa tangannya sampe dingin gini?" tanya Hilman, aku tidak sadar dia sudah menggenggam tanganku yang ada di pangkuan.

            "Hah? Masa?"

            "Takut banget ketemu Mama, nggak gigit kok. Lagian kan udah pernah ketemu juga."

            "Iya, sih. Tapi ini kan beda."

            "Beda gimana?"

            "Udahlah, Abang nyetir aja," pintaku.

            Beberapa menit kemudian kami tiba di rumah Hilman. Jantungku terasa semakin berdetak kencang. Aku dan dirinya keluar dari mobil, tidak lupa aku membawa kado yang sudah aku siapkan. Saat memasuki halaman rumah, ternyata pintu depan sudah terbuka, sepertinya mamanya sudah menunggu. Benar saja, begitu kami mendekati teras, mama Hilman keluar dan terenyum padaku. Aku langsung mengucap salam, kemudian menyalami beliau dan bercipika-cipiki.

            "Duduk, Kanya," kata mama Hilman.

            "Iya, Ma. Ini buat Mama." Sejak pertemuan kedua aku sudah menggunakan kata ganti Mama, karena mama Hilman sendiri yang menyebut dirinya mama padaku. Jadi aku mengganti panggilan Ibu yang aku gunakan sebelumnya.

            "Apa ini?" tanya mama Hilman.

            "Kado kata Kanya, kan Mama ulang tahun," sela Hilman.

            Mamanya tersenyum. "Repot-repot pakai kado, Mama kan udah tua. Makasih ya."

            Karena sedang berpuasa kami hanya menghabiskan waktu dengan mengobrol. Seperti dugaanku, ibunya selalu punya banyak cerita. Kali ini menceritakan tentang masa kecil Hilman yang sejak kecil susah sekali di foto dan juga sudah doyan makan. "Pokoknya kalau makan maunya paling banyak, Ayuk sama Kakak banyak ngalah sama dia ini."

            Aku tersenyum. Ternyata memang hobinya sejak dulu tidak berubah, untung saja dia masih menyempatkan diri untuk berolahraga. Setelah pembahasan itu, tiba-tiba Hilman buka suara. "Ma, habis lebaran mau ngurus nikah kantor ya," ucapnya.

            Aku menarik napas menunggu jawaban ibunya. "Ya terserah, memangnya mau nikahnya bulan berapa?" tanya mama Hilman.

            "Ngurus dulu, mungkin dua atau tiga bulan lagi. Kan masih renovasi rumah."

            Renovasi rumah? Baru kali ini aku mendengar soal ini. "Ya sudah kalau gitu, Mama nurut aja." Mama Hilman beralih padaku kemudian bercerita hal lain lagi. Tidak terlalu membahas masalah pernikahan ini, aku jadi deg-degan apa artinya ibunya sudah setuju? Atau sebaliknya?

*****

Happy reading

Happy Ending?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang