Bang Hilman : Abis ashar Abang ke rumah.
Pesan itu dikirimkannya pukul dua siang tadi. Sejak percakapan super canggung semalam tidak ada pesan lain darinya. Walaupun dia memang jarang mengirim pesan basa-basi seperti selamat pagi atau menanyakan tentang bagaimana sarapan atau makan siangku hari ini. Sejak dulu Hilman selalu mengirimkan pesan untuk yang menurutnya penting-penting saja.
Pukul empat sore, aku melihat mobilnya sudah terparkir di depan rumah, tidak lama kemudian ia turun, laki-laki itu mengenakan kaos putih yang dipadukan dengan celana jins. Rambutnya baru dipotong, aku selalu suka model rambut pendeknya ini, terlihat jauh lebih tampan.
Aku segera membukakan pintu untuknya. "Masuk, Bang," ucapku. Hilman mengangguk dan duduk di kursi tamu. Biasanya aku akan mengambil posisi duduk di sampingnya, tetapi kali ini aku duduk agak jauh. Tidak berani juga memandang wajahnya.
Untuk beberapa saat kami sama-sama diam, jujur baru kali ini aku dan dirinya secanggung ini, bahkan saat pertama kali bertemu pun tidak seperti ini. "Udah makan?" tanyaku yang berusaha membuka percakapan.
"Udah," jawabnya. Dan kemudian hening lagi.
Aku memutar otak, apa yang harusnya menjadi bahan obrolan agar percakapan ini bisa seperti sebelumnya. "Mau keluar?" tanyaku lagi.
"Adek mau ke mana?" Dia bertanya balik.
"Terserah sih, makan, atau nonton."
"Oh, ya udah."
Untuk beberapa saat pandangan mata kami beradu, kemudian aku langsung mengalihkan tatapan. "Tunggu, Kanya ganti baju dulu."
"Iya."
*****
Sepanjang perjalanan menuju mall yang letaknya lumayan jauh dari rumahku, mungkin menghabiskan waktu sekitar empat puluh lima menit, tidak ada yang bicara di antara kami. Satu-satunya suara yang terdengar hanyalah musik dari stereo mobil. Aku yang biasanya cerewet mendadak menjadi pendiam, juga aku yang biasanya menikmati sekali pemandangan Hilman yang sedang menyetir malah memilih memandang ke jalan lewat jendela samping sepanjang perjalanan.
Kalau tahu akan saling mendiamkan begini, sebaiknya memang di rumah saja. Tetapi kalau hanya di rumah kegiatan apa yang akan kami lakukan? Duduk diam seperti patung?
Setidaknya aku berharap di mall nanti Hilman sudah kembali seperti semula. Dia tidak terlihat marah, ya hanya jadi lebih pendiam saja. Bayangkan saja, dia yang memang tidak terlalu suka bicara, sekarang malah makin membisu.
Saat aku sedang sibuk dengan pemikiranku sendiri, Hilman tiba-tiba buka suara. "PHD sama kalau beli pake Gojek murahan mana, Dek?"
"Hah?" Aku menoleh ke arahnya lalu melihat di depan kami ada motor Pizza Hut Delivery. "Oh, Go-jek kali," jawabku singkat. Kemudian kami sama-sama diam kembali.
Sesampainya di mall dan mencetak tiket, kami langsung masuk ke ruangan theater. Semoga setelah menonton film ini hubungan kami akan jauh lebih baik. Aku harus optimis!
Namun, harapanku sepertinya tidak terkabul, karena sudah satu jam sejak film dimulai, Hilman masih diam dan duduk agak jauh dariku. Tidak seperti biasanya. Aku melihat tanganku yang kosong, biasanya kami menonton film sambil bergenggaman tangan. Ya, entah sejak kapan hal itu terjadi, rasa-rasanya terjadi begitu saja. Ia menggenggam tanganku dan sepanjang film jemari kami saling bertaut, aku pikir itu sudah menjadi kebiasaan, tetapi tidak hari ini. Dia benar-benar menjaga jarak.
"Mau makan apa?" tanyanya yang hampir menutup mulut sejak sampai di tempat ini.
Wow akhirnya ya, setelah selesai film suaranya kembali! pikirku.
"Abang pengin apa?" tanyaku, kami berdua sedang menunggu di depan lift.
"Terserah Adek."
"Piza?" Tiba-tiba aku teringat Pizza Hut Delivery di jalan tadi.
"Boleh."
Aku menghela napas, karena sikapnya itu. Tidak lama kemudian pintu lift membuka, kami masuk dan menuju lantai restoran piza yang akan dituju.
Tidak ada kemajuan selama di restoran piza, ia sibuk dengan lasagna yang dipesannya, terlihat benar-benar menikmati makanannya. Ya, sejak kapan sih, Hilman tidak menikmati makanan yang disantapnya. Sementara aku memakan potongan piza dengan setengah hati. Sudah tidak bernafsu lagi.
Setelah selesai makan kami memutuskan untuk pulang. Kalau memang di perjalanan nanti situasinya masih seperti saat ini, sepertinya aku akan mendiamkannya beberapa hari ke depan. Ya, kalau memang berat membahas masalah kemarin, setidaknya bisakah kami kembali seperti sebelumnya?
"Kita mau diem-dieman gini terus?" Akhirnya aku tidak tahan lagi.
Dia menoleh sekilas ke arahku. "Diem gimana?"
"Ya gini, Kanya nggak suka ya keadaan begini. Canggung banget! Abang masih marah sama Kanya? Bilang aja, jangan diem."
"Nggak marah."
"Terus?"
"Males aja bahasnya."
Aku menghela napas. "Abang tahu nggak, kalau Kanya udah dua kali terjebak. Kanya udah pernah cerita, kan? Satunya ternyata punya pacar lain, satunya balikan sama mantannya. Kanya sakit hati, dan itu lama. Ada hari-hari Kanya stalk sosmed mereka. Buat ngelihat mereka bahagia nggak, lama-lama Kanya sadar kalau itu nggak sehat. Kanya nggak mau Abang kayak gitu juga."
Aku mendengar hembusan napas berat Hilman. "Bukan itu alasan Abang. Bukan juga karena belum move on. Sebenernya history pencarian itu udah lama. Abang lihat karena waktu itu dia pernah menghubungi."
"Ngapain dia hubungin Abang? Ngajak balikan?"
Hilman mengangguk.
Aku tercengang dengan fakta itu. "Terus?"
"Ya gak mau lah, terus iseng aja lihat sosmednya. Udah sebatas itu aja nggak pernah lagi."
"Tapi kenapa dia ngajak balikan?"
Hilman mengangkat bahu.
"Gila! Gila! Terus Abang jawab apa?"
"Nggak dijawab, langsung blok WA-nya."
"Heh?"
"Ngapain dijawab ngabisin waktu, mending juga main game," jawabnya santai.
"Dia udah nikah kan?"
Hilman mengangguk. "Mau cerai katanya."
Aku benar-benar tidak habis pikir bagaimana ada wanita seperti itu, bukankah dia yang meninggalkan, lalu minta kembali lagi? Apalagi dia sudah menikah. Dia kira Hilman sampah yang sudah ia buang lalu mau dipungut lagi.
"Abang beneran udah nggak ada rasa kan sama dia?"
"Ya menurut Adek aja?"
Iya sih sebenarnya pertanyaan itu tidak perlu keluar dari mulutku. "Oke kalau gitu, terus kenapa Abang marah gitu ke Kanya? Pake diemin Kanya?"
"Bukan marah sih, nggak nyaman aja. Males juga kalau dijawab juga pasti dibahas terus. Padahal males banget bahasnya."
"Makanya menghindar?"
"Iya biar Adek nggak bahas-bahas lagi."
"Padahal kalau Abang jawab kayak gini Kanya bisa ngerti. Dan nggak akan Kanya bahas lagi," jelasku.
"Udah jelas kan? Nggak usah dibahas lagi ya."
"Iya Abang juga itu sosmed dia nggak usah dibuka-buka lagi, lagian mau lihat apa? Dikunci gitu."
"Iya-iya," jawabnya.
Aku tersenyum lega. Akhirnya masalah kami selesai, ya aku tahu dia juga sama sepertiku, mungkin ada rasa penasaran ingin melihat kenapa perempuan itu tiba-tiba menghubunginya dengan melihat apa yang terjadi di sosial medianya, menurutku masih manusiawi sih, yang paling penting adalah dia bisa jujur padaku.
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
Happy Ending?
Chick-LitLanjutan cerita Kanya-Hilman ***** Setelah dilamar dengan cara yang sama sekali tidak romantis dan tak terduga walaupun dengan cincin, nyatanya tidak membuat Kanya merasa yakin dengan keseriusan Hilman. Karena hingga bulan-bulan selanjutnya pun, bel...