9. Pilihan

195 13 1
                                    

Semua mata menatap kami dengan heran, lalu bisik-bisik kembali terdengar. Aku merangkul Riska untuk saling menguatkan. Jemari kami bertautan dengan erat seolah tak ingin dipisahkan.

"Jadi ... selama ini yang gak subur itu Mas Rahman?" tanya Dina setengah tak percaya. Selama ini dialah yang ngotot memojokkan kakak iparnya karena sakit hati.

"Iya. Ini hasil tes rumah sakit."

Aku mengeluarkan selembar kertas hasil pemeriksaan dari saku dan menyodorkannya. Dina meraihnya dengan cepat, lalu bergantian dengan Ibu dan keluarga yang lain.

Aku kembali menatap Riska sembari tersenyum. Akhirnya rasa bersalah kepadanya kini lepas sudah. Aku tak ingin Riska disudutkan terus menerus oleh mereka.

"Sudah. Sudah. Jangan dibahas lagi."

Tiba-tiba saja mamanya Riska mengambil kertas itu lalu menyimpannya di tas. Beliau mengalihkan pembicaraan dengan menceritakan hal lain agar kami tak membahas itu lagi.

Acara selesai. Satu per satu keluarga berpamitan pulang. Aku tahu, setelah ini kami akan menjadi bahan perbincangan mereka di luar.

"Ibu pulang dulu," pamit Ibuku sembari menggandeng lengan Dina.

"Gak nginap satu malam lagi?" pintaku karena masih merindukannya.

"Kalau Mas kangen, gantian nginap di rumah. Jangan cuma datang makan," kata Dina ketus sembari menggendong anaknya.

Suami Dina tak datang kali ini. Katanya ada urusan dengan seorang teman. Padahal aku tahu, adik iparku itu malas berkumpul karena minder dengan pekerjaannya.

"Yaudah. Rahman antar kalau gitu," ucapku sembari mengambil kunci mobil.

"Eh, gak usah. Ibu naik taksi online aja. Kamu masih ada mertua di sini. Jangan ke mana-mana. Ndak sopan," tolak Ibuku halus.

Setelah memesankan taksi online, aku mengantar mereka sampai ke depan dan membayarkan tarifnya. Tak lupa kusisipkan selembar uang merah di saku baju Dina. Aku tahu uangnya sudah habis. Tadi saja, adikku itu membungkus sisa lauk untuk dibawa pulang sampai Ibu memarahinya. 

"Rahman."

"Ya, Bu?"

"Jangan terburu-buru mengambil keputusan."

Aku tersentak karena mengerti apa maksud Ibu walaupun beliau tak menjelaskannya secara rinci. Aku mengangguk tanda mengerti.

"Kalau kalian ada waktu senggang, main ke rumah bawa Riska, ya."

Aku mengangguk lagi, mengerti apa maksudnya. Ibu ingin membicarakan keinginan kami untuk mengadopsi anak. Entah setuju atau tidak dengan keputusan kami, yang pasti Ibu tidak mau membicarakannya sekarang.

"Hati-hati, Bu."

"Kamu juga. Baik-baik sama istri."

"Salam sama suami kamu, Din. Bengkel masih nerima karyawan kalau mau join," tawarku.

Aku melambaikan tangan ketika taksi online itu mulai melaju, lalu menuntup pagar dan masuk ke dalam. Mertuaku masih di dalam dan sedang berbincang dengan putrinya.

Aku berjalan pelan menuju ruang keluarga saat terdengar pembicaraan yang cukup serius. Kuputuskan untuk menahan langkah dan mencuri dengar.

"Kamu yakin Rahman yang mandul?"

Terdengar suara mama mertuaku bertanya.

"Iya, Ma. Itu hasil tesnya. Kami udah coba di beberapa rumah sakit. Hasilnya sama." Kali ini terdengar suara Riska yang menajwab.

Aku Suami Mandul [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang