16. Usaha

177 13 0
                                    

"Saya mau ketemu Bapak Panji," ucapku saat bertandang ke sebuah kantor pemerintahan yang terletak di tengah kota.

"Maaf, tapi Bapak sedang ada rapat. Apa bisa menunggu?" tanya seorang resepsionis sembari menatapku lekat.

"Berapa lama?"

"Satu jam lagi sepertinya."

Aku duduk di sofa lobi dengan gelisah sembari berdoa agar papa mertuaku mau bertemu. Setiap kali aku datang ke rumahnya, mamanya Riska selalu mengusirku dengan tameng security.

Aku tak tahu bagaimana perasaan Riska ketika kami berpisah karena tak ada komunikasi sama sekali. Apakah dia juga merasakan hal yang sama seperti yang aku rasakan? Rindu yang begitu menggebu hingga memenuhi rongga hati dan ingin membuncah tak terkendali.

Tiga puluh menit berlalu dan aku masih menunggu, menatap ponsel dengan gamang dan mencoba menelepon Riska. Ada banyak cara yang aku lakukan untuk berjumpa, salah satunya menghubungi karyawan butik dan hasilnya nihil.

Mereka mengatakan tidak tahu apa-apa. Infonya Riska meminta maaf karena akan merumahkan semua pegawai dan menutup butik tanpa alasan jelas. Ada juga yang mengatakan bahwa istriku sakit dan akan berobat sehingga usahanya ditutup sementara waktu.

"Pak Panji sudah selesai rapat. Jika Bapak ingin bertemu sudah bisa. Tapi mohon diisi dulu datanya."

Sebuah buku dan pulpen disodorkan beserta senyum manis darinya. Aku menuliskan nama dan apa keperluan berkunjung ke kantor ini. Lalu membubuhkan tanda tangan di bagian akhir.

"Apa boleh masuk sekarang? Setelah ini saya mau kerja," ucapku memohon karena sudah berjanji kepada pemilik bengkel akan datang setiap hari.

"Baik, Pak. Mohon tunggu sebentar."

Sepuluh menit aku menahan gelisah hingga akhirnya sosok paruh nan gagah itu membukakan pintu ruangannya.

"Rahman? Ada apa, Nak?" tanyanya sembari mempersilakan aku duduk di sofa dan mengambilkan sebotol air mineral.

"Riska, Pa."

"Dia di rumah, kan? Kenapa gak temui langsung?"

Deg!

Aku tersentak mendengar itu. Sandiwara apalagi yang mereka mainkan kali ini. Setelah mama berulang kali  mengusirku, kini papa berpura-pura tidak tahu?

"Aku gak boleh ketemu Riska, Pa. Mama mengusirku."

Kulihat ada yang berbeda rona di wajah papa, lalu beliau menarik napas panjang.

"Setelah kejadian itu, papa ke luar kota. Baru tiba kemarin malam terus langsung masuk kerja hari ini," jelasnya.

"Jadi?"

"Ada banyak hal yang ingin papa bicarakan dengan kamu. Tapi sekarang belum bisa karena pekerjaan papa lebih utama."

Aku tertunduk lemas dan mengangguk sembari mendengarkan ucapan beliau dengan seksama.

"Riska sakit. Jadi butik ditutup untuk sementara waktu. Baiknya kamu pulang. Temui papa besok. Kita bicarakan lagi."

"Tapi tiap kali aku ke sana, sikap Mama--"

"Papa tahu, tapi saat ini suasana masih panas. Baiknya kamu pulang dulu. Tenangkan diri. Ini tidak bisa dipaksakan."

Aku mengusap wajah berulang kali, lalu berpamitan ketika seseorang masuk dan menyerahkan setumpuk berkas untuk papa tanda-tangani.

Aku mencium tangan beliau dengan khidmat dan kami saling berpelukan erat. Sekalipun hanya mertua, aku merasa dia seperti orang tua kandung. Papalah yang selama ini mendukung tanpa banyak bicara.

Aku Suami Mandul [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang