Ini hari ketujuh aku berdiam diri di rumah dan merenungi nasib. Tidak ada kabar dari Riska, bahkan nomornya tidak aktif. Berulang kali aku datang ke tumah orang tuanya, tetapi diusir dan malah diancam oleh petugas keamanan.
Aku juga mencoba menelepon Ibu, tetapi diabaikan. Sepertinya beliau begitu terpukul dengan kejaian ini. Hanya Dina yang masih menghubungi dan menanyakan kabarku.
Aku tak tahu harus berbuat apa saat ini, hanya mondar-mandir tanpa tujuan. Setiap hari aku datang ke butik, berharap pintu bangunan itu terbuka sehingga bisa menemui Riska. Sayangnya, di kaca depannya masih tertulis kata 'closed' dengan pagar yang digembok.
Tabunganku mulai menipis, sementara kebutuhan hidup terus berlanjut. Akhirnya, aku nekat mencari pekerjaan, apa saja asalkan bisa menyambung hidup. Ijazahku masih tersimpan di lemari, tetapi usiaku sepertinya sudah tak memungkinkan untuk bekerja kantoran. Sempat terpikir untuk menjual mobil ini tetapi niatku urung.
Tanah bekas bangunan bengkel juga tak bisa dilelang karena merupakan hak milik Riska, begitu pula rumah ini. Aku sangat mencintainya sehingga semua materi yang kumiliki, kuhadiahkan semua untuknya.
"Punya pengalaman kerja di bagian mesin?" tanya salah seorang pemilik bengkel ketika aku datang dan meminta bantuan.
Matanya menatap tajam sembari melirik mobil yang terparkir di depan, seperti tak yakin jika aku memang membutuhkan pekerjaan.
"Tentu saja, Pak. Apa saya harus praktik langsung?" tanyaku untuk meyakinkan.
Beliau mengangguk, lalu menunjuk sebuah motor bebek butut keluaran tahun 1991 yang teronggok di sudut bengkel dan mulai mengerjakannya.
"Saya minta waktu 3 hari buat ngerjainnya. Kalau ini bisa nyala, Bapak boleh pertimbangkan. Selama tiga hari ini saya gak usah digaji," pintaku setengah memelas.
Pemilik bengkel mengangguk lagi. Aku memeriksa seluruh komponen motor itu, lalu mulai mengutak-atiknya. Ada beberapa bagian yang harus diganti dengan alat baru dan akan memakan biaya yang cukup besar.
Entah ini motor siapa, yang pasti pemiliknya pasti sangat sayang sehingga masih mempertahankannya.
Aku mulai fokus membenahi satu per satu bagiannya. Keringat mengucur deras membasahi kaus sehingga menimbulkan bau asam. Padahal dulu, aku hanya duduk di meja kasir dan mengawal para karyawan yang bekerja.
Sejenak kulupakan semua permasalahan dan dendam yang membara di hati, lalu semakin fokus pada pekerjaan. Bayangan Sinta dan Fredy yang membuat tidurku tak nyenyak beberapa hari ini menghilang begitu saja.
Dua jam berkutat dengan mesin membuatku lelah. Staminaku sudah tak sekuat dulu. Mungkin karena faktor usia dan lebih banyak bekerja di belakang meja.
Setelah meneguk sebotol air mineral sembari duduk dan mengusap peluh dengan ujung kemeja, aku memutuskan untuk pulang. Saat hendak berpamitan dengan pemilik bengkel, tiba-tiba saja seseorang menepuk pundakku.
"Om. Bisa bantu tambal motor aku? Bocor."
Aku menoleh dan terdiam untuk beberapa detik saat melihat seorang gadis manis dengan hijab panjang menunjuk ke arah motornya. Usianya masih muda, kutaksir mungkin sekitar dua puluh tahunan.
"Tapi saya mau pulang. Mungkin sama yang lain," tolakku halus.
"Tapi kayaknya semua sibuk. Tolong saya, Om. Udah telat, nih," pintanya memelas.
Aku menatap sekeliling. Benar saja kalau karyawan yang lain sedang asyik dengan pekerjaannya masing-masing.
"Bantuin saja dulu. Upahnya buat kamu," sela pemilik bengkel.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Suami Mandul [Tamat]
RomansaRahman harus menerima kenyataan pahit setelah divonis mandul, di saat dia memutuskan untuk bertaubat dan berhenti dari pekerjaan sebelumnya, yaitu seorang gigolo. Riska, sang istri yang awalnya kecewa dan meminta bercerai, lambat laun bisa menerima...