2. Flashback

474 21 10
                                    

Aku mengabaikan pesan dari Sinta, sedang tak berselera meladeninya. Juga beberapa pesan dari yang lain. Bengkel hari ini tutup karena aku malas bekerja akibat perkataan istriku tadi.

Aku mengabari salah satu karyawan dengan menelepon dan meliburkan mereka hari ini. Semangatku hilang entah ke mana. Mungkin saja ia terbawa angin yang berembus. Atau hanyut bersama derasnya air yang mengalir di kaki pegunungan.

Ponsel berbunyi lagi. Kali ini dentingnya tiada henti. Aku menimbang sejenak, lalu menjadi resah karena rasa penasaran yang memenuhi benak dan mulai membacanya.

'Rahman kamu sombong banget sekarang. Mentang-mentang udah sukses. Lupa ya sama aku.'

Aku memang tak mau mengingat apa pun lagi mengenai pekerjaan itu.

'Lama mencari akhirnya ketemu sekarang. Aku kangen kamu.' Tulisnya disertai dengan emoji menangis.

'Kalau chat ini gak dibalas, nanti aku datengin ke rumah, loh.'

Aku mengernyitkan dahi, kembali bertanya dalam hati. Bertanya dalam hati dari mana Sinta tahu semua info mengenaiku. Apa ada seseorang yang berniat jahat ingin menghancurkan rumah tangga kami. Apa orang itu juga sengaja membocorkan rahasia kepada mantan pelangganku dulu.

'Aku serius.' Begitulah isi pesan terakhir dari Sinta.

'Ya.'

Hanya itulah balasan yang kuketikkan. Berharap dia tidak akan mengganggu lagi. Namun wanita, jika merasa belum puas akan jawaban laki-laki, mereka akan mencecar kembali.

'Aku mau ketemuan. Sebentar aja. Boleh, ya?'

Pesan dari Sinta muncul lagi. Aku mengabaikannya dan meletakkan ponsel di nakas. Kali ini, aku benar-benar tak mau menanggapi. Jika masih ngotot, maka akan kublokir nomornya.

Aku menyandarkan diri di sofa dan teringat akan tiga tahun lalu, saat kami bertemu. Sinta adalah pelanggan pertama yang menggunakan jasaku, juga membayar dua kali lipat karena merasa puas karena pelayanan yang aku berikan.

Ada banyak nama untuk pekerjaanku dulu. Terserah kalian saja mau menyebutnya apa. Awalnya ada rasa jijik saat menyetuh mereka. Namun, ketika melihat saldo di rekening yang tiba-tiba saja menggendut setelah menemani pelanggan, aku menjadi bersemangat lagi.

Aku mensugesti diri sendiri bahwa semua pelangganku adalah gadis yang cantik dan seksi, walaupun pada kenyataannya tidak begitu. Sehingga saat melakukannya, semua mengalir begitu saja.

Malam itu, kami membuat temu janji di sebuah kafe yang letaknya di tengah kota. Aku dan Fredy, kakak tingkatku, duduk santai menikmati segelas kopi dan camilan sembari menunggu pelanggan datang.

Ada dua orang yang pelanggan, masing-masing dari kami mendapatkan satu. Entah siapa akan berpasangan dengan siapa, itu tergantung kesepakatan nanti.

Tak lama datanglah seorang wanita berpenampilan modis, memakai dress ketat selutut berwarna merah menyala. Rambutnya hitam panjang dan harum. Itu tercium saat dia duduk di sebelahku.

Sudut mataku melirik sedikit. Dia lumayan cantik walaupun sudah berumur. Lekuk tubuhnya yang ramping sukses membuat jantungku berdebar kencang.

Aku pernah pernah menjalin cinta dengan seorang wanita, tetapi kandas di tengah jalan karena keuangan yang pas-pasan. Jangankan membelikan hadiah di hari Valentine, untuk biaya hidup sehari-hari dan membayar uang kosan saja berat.

Kugenggam erat tangan mungil itu saat berkenalan. Halusnya kulit itu membuatku semakin gugup. Fredy mengulum senyum saat melihatku yang jadi salah tingkah. Pantas saja dia senang menekuni pekerjaan ini, pelanggannya sungguh menggoda iman.

Pantas juga ketika mendaki gunung, dia yang membayarkan kebutuhan kami. Juga camilan anak-anak di camp. Ternyata uang yang mengalir di rekeningnya lancar setiap bulan.

Kami bincang sebentar. Ketika Sinta berpamitan ke toilet, Fredy menceritakan sedikit mengenai wanita itu.

Sinta merasa kesepian karena sering ditinggal berpergian. Sebagai seorang pejabat pemerintah, suami wanita itu mengurusi banyak hal di luar kota bahkan di luar negeri. Kadang-kadang dia ikut serta, tetapi lebih banyak tidaknya.

Tak hanya itu, Sinta juga mencurigai suaminya diam-diam telah menikah lagi. Karena itulah dia melampiaskan sakit hati dengan mengencani banyak laki-laki muda. Mahasiswa memang menjadi incarannya.

Sebenarnya Sinta tidak sendirian. Ada beberapa wanita yang bernasib sama. Mereka membentuk geng dan biasanya akan bergantian memakai jasa kami. Mereka juga akan saling bertukar info jika ada mahasiswa baru yang bisa dikencani.

Setelah makan malam dengan menu spesial, yang semua dibayarkan oleh Sinta, aku langsung ikut ke parkiran dan masuk ke sebuah mobil mewah. Dia memilihku. Sedangkan Fredy akan berkencan dengan pelanggan satunya, yang sejak tadi belum datang. Sehingga dia masih menunggu di kafe sewaktu kami pergi.

Sepanjang perjalanan aku hanya diam, tak tahu harus memulai pembicaraan. Lidah ini kelu, mata hanya bisa berfokus ke depan. Entah ke mana dia akan membawa, aku pasrah saja.

"Baru, ya?" katanya memecah keheningan.

"Iya, Tan-te," jawabku gugup sembari meliriknya sedikit. Ketika mata kami bertautan, aku segera membuang pandangan.

"Ih, jangan panggil Tante, dong. Aku kan, masih cantik gini," ucapnya tersenyum genit.

Sinta terlihat senang sekali karena bibirnya terus saja mengembangkan senyum sejak tadi.

"Terus panggil apa?" tanyaku.

"Panggil nama aja," ucapnya sembari mengedipkan mata.

Tanpa kusadari, tiba-tiba saja tangannya mulai menyentuh jemariku. Membuat tangan ini semakin gemetaran dengan detak jantung yang tak karuan.

Aku melirik lagi dan kali ini memilih untuk menatapnya lebih lama. Ada sedikit rasa iba di hati, juga banyak pertanyaan mengapa suaminya menikah lagi jika mempunyai istri secantik Sinta?

Ah, kaum laki-laki memang buaya. Mata kami tak bisa hanya melihat satu wanita dan tetap akan berkeliaran ke mana-mana. Apalagi suami Sinta berkelimpahan harta sehingga mudah baginya untuk mendua.

Astagfirullah, aku mengucap dalam hati. Dia adalah orang yang akan membayar dan memberikan aku uang. Tak pantas aku menghinanya seperti itu. Lalu mengapa aku mengingat Tuhan, jika perbuatan yang akan lakukan ini adalah sebuah dosa besar. Pantaskan aku disebut manusia munafik?

Kami tiba di sebuah hotel berbintang lima yang harga kamarnya per malam pastilah mahal. Sinta dengan santainya menggandeng lenganku saat memasuki tempat itu. Senyumnya merekah sejak awal membooking kamar hingga kami berada di dalamnya.

"Rahman. Kamu kok ganteng banget. Aku suka," bisiknya manja.

Tangan Sinta mulai menyentuh wajahku. Lalu semua terjadi begitu saja. Wanita itu tertidur lelap setelah semua selesai. Sementara itu aku termenung memikirkan semua, karena telah kehilangan harga diri untuk yang pertama kali dengan cara yang kotor.

Aku Suami Mandul [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang