"Kenapa muka Lo tekuk gitu?" Tanya Vanya saat melihat adik bungsunya murung.
"Nggak apa-apa." Jawab Zalfa.
"Mikirin dia?" Vanya tentunya sudah tahu apa yang adiknya pikirkan sejak tadi.
Zalfa terdiam. Tidak berniat menjawab pertanyaan kakaknya. "Kak, kita gak mudik?" Tanya Zalfa mengalihkan topik.
"Nggak, nanti mama sama papa yang datang ke sini." Kata Vanya.
"Ayah enggak datang ya?" Tentu Zalfa sudah tahu jawabannya.
"Seperti biasa nggak. Lo tau kan mama sama ayah udah punya keluarga mereka sendiri, dan gue selaku kakak Lo, yang akan jadi wali buat Lo kedepannya. Dan gue juga pernah bilang kan, kebutuhan kita biar jadi urusan gue. Dan Lo harus bisa jalani hidup Lo sendiri, jangan terlalu bergantung pada mereka. Ingat Al, gak selamanya yang bertahan akan selalu bertahan, karena setiap pertemuan pasti ada akhirnya." Jelas Vanya panjang lebar. Vanya yang melihat adiknya menangis, dengan sigap ia menarik Zalfa dalam pelukannya. Sungguh ia tidak tega melihat adiknya menderita seperti ini. Ia harus berusaha agar adiknya tidak merasa kurang kasih sayang orang tua.
"Gue hanya pengen rasain kasih sayang orang tua kak." Zalfa menangis di bahu kanan Vanya, membalas pelukan hangat kakaknya. Sungguh ia sangat iri pada Adara dan Haira yang masih memiliki keluarga lengkap dan selalu bahagia. Terkadang ia juga melihat mereka selalu bercanda tawa dengan keluarga mereka.
"Lo ada gue Al, gue pernah bilang kan sama Lo. Jangan pernah lemah, gue akan berusaha buat jadi kakak sekaligus orang tua yang baik buat Lo. Gue akan dorong Lo jadi orang hebat Al, biar mereka tau kalau Lo orang yang kuat dan selalu punya gue orang yang selalu dukung Lo." Vanya mengelus surai hitam adiknya pelan. Ia dapat merasakan apa yang Zalfa rasakan, tapi ia tidak boleh lemah. Ia harus berjuang demi Zalfa.
"Gue kangen mereka. Kenapa mereka ninggalin gue kak?" Lirih Zalfa, hampir tak terdengar oleh Vanya.
Pertahanan yang sudah di bangun Vanya runtuh seketika kala mendengar pertanyaan dengan suara lirih dari adiknya. Sungguh Vanya tak sanggup membalas pertanyaan dari adiknya itu. Ia bingung bagaimana harus menjelaskannya pada Zalfa. Ia juga tak ingin membuat Zalfa membenci orang tua mereka.
"Udah dong Al, jangan nangis. Nanti batal loh puasanya." Vanya menghapus jejak air mata di pipinya, tidak ingin terlihat lemah di hadapan Zalfa.
Vanya mengelus pelan pipi Zalfa. Menghapus jejak air matanya. "Ayo senyum dong. Kalau Lo senyum, gue beliin Lo setelan baju buat lebaran nanti." Ucap Vanya berusaha menghibur adiknya.
Vanya yang tak kunjung mendapat balasan dari adiknya, mulai menarik sudut bibir Zalfa agar membentuk senyum simpul yang indah. "Nah gitu kan cantik. Udah jangan nangis, cengeng." Kata Vanya seraya mengelus pelan kepala Zalfa.
***
Kini Zalfa sedang berada di roof top rumahnya. Ya, meski Zalfa kini sudah tidak pernah melihat Farhan lagi. Zalfa selalu memandang rumah Farhan dari lantai atas rumahnya.
Walaupun tidak secara langsung, namun hati Zalfa terasa damai saat terkadang melihat Farhan yang berdiri memandangi pemandangan belakang rumahnya.
"Liatin siapa dek?" Tanya Vanya yang datang entah darimana.
"Liatin kak Farhan." Jawab Zalfa santai.
"Dek, duduk sini." Ucap Vanya menyuruh Zalfa agar duduk di sebelahnya.
Zalfa menurut. "Kenapa kak?" Tanya Zalfa menatap kakaknya. Disini Zalfa sungguh jelas melihat Farhan yang sedang memainkan ponselnya.
"Tadi gue gak sengaja ketemu Riska sama temannya waktu pulang. Trus mereka bahas tentang Farhan."
KAMU SEDANG MEMBACA
JUBAH BIRU
ChickLitZalfa Sabira, gadis dengan paras yang membuat siapa saja yang melihatnya takjub dengan pesonanya. Zalfa dikenal dengan wajah cuek dan dinginnya. Namun berbeda lagi jika sedang bersama orang terdekatnya. Entah bagaimana menjelaskannya, dia lelaki per...