Jangan lupa votement yaaaa!!
Sebulan kemudian,
Tiya kembali bekerja sebagai guru di Madrasah Aliyah. Sedangkan Yuta menjadi karyawan di sebuah perusahaan. Yuta menyadari adanya perubahan sikap sang kakak yang sering melamun sejak mereka pindah ke Surabaya. Seperti sekarang, Tiya kembali melamun saat hendak makan malam. Yuta mengipas-ngipaskan tangannya di depan wajah Tiya. "Kak? Hey!"
"Huh? Kenapa?" Lamunan Tiya buyar.
"Semenjak kita pindah, Kakak jadi sering melamun. Apa apa?"
Tiya menggeleng. "Eum... enggak ada apa-apa."
"Bohong dosa, cerita ke gua, ada masalah apa sampai lo jadi sering ngelamun," desak Yuta.
"Sebenarnya, kakak ngajak pindah bukan tanpa alasan." Tiya menunduk menatap makanan yang sama sekali belum ia makan. "Kakak mau menghindar dari seseorang."
Alis Yuta bertaut. "Siapa?"
"Jeffry."
Yuta membulatkan kedua matanya. "Jeffry yang anak orang konglomerat itu?" tanyanya lagi.
Tiya hanya mengangguk mengiyakan.
"Kenapa menghindar? Kalian ada masalah?"
"Mamanya Jeffry datangin kakak, nyuruh biar kakak enggak muncul lagi di hadapan Jeffry karena dia mau dijodohin." Tiya merasa matanya berair, ia menatap langit-langit rumah, menahan diri agar tidak menangis.
"Then, lo sedih karena harus ninggalin dia? Suka lo sama Jeffry?" tanya Yuta menyelidik.
Tiya diam dalam beberapa detik, lalu mengangguk pelan. Yuta menghela napas panjang. "Bukannya enggak dukung, tapi gua saranin... lebih baik move on, sih."
"Udah dicoba, tapi...." Kalimatnya terputus, Tiya menutup wajahnya dengan tangan dan menangis. "Hiks... tetap enggak bisa."
Yuta terkejut, pertama kalinya ia melihat sang kakak menangis. Bahkan, saat orang tua mereka meninggal pun ia masih bisa tahan untuk tidak menangis dan terlihat tegar di hadapan semua orang, tapi sekarang? Ia menangis karena seorang pria. Yuta beranjak pindah ke dekat Tiya dan memeluk sambil mengusap kepala sang kakak, tangis Tiya pun semakin menjadi-jadi.
"Nangis aja sebanyak-banyaknya, lo terlalu banyak nahan," ujar Yuta.
Tiya balas memeluk sang adik, menumpahkan segala kesedihan dan air mata yang selama ini ia pendam.
"Kalau jodoh enggak akan ke mana, tapi jangan terlalu ngarep, takutnya kecewa," lanjut Yuta.
Tiya mencebik. "Enggak ngarep, kakak sadar diri kok... cuma perasaan kakak ke dia susah banget hilangnya."
"Banyakin istighfar," ucap Yuta lagi sambil mengusap air mata Tiya. "Enggak nyangka, kakak gua yang tegar ini sekarang nangis gara-gara laki modelan Jeffry."
Tiya mendongak. "Modelan Jeffry gimana maksud kamu?"
"Dia itu... doyan minuman keras, doyan berantem, balapan liar, main ke bar, pokoknya banyak minusnya. Kelebihannya cuma di muka sama di harta," ujar Yuta.
"Kakak tahu itu," sahut Tiya.
"Kalau udah tahu, kenapa masih naksir?" tanya Yuta.
"Enggak tahu, akhir-akhir ini malah sering kepikiran," gumam Tiya.
"Banyak-banyak istighfar deh, Kak. Jangan kebanyakan melamun, mikirin cowok yang bukan mahram juga bisa jadi dosa loh kalau berlebihan," ujar Yuta menasihati.
Tiya mengangguk. "Iya... astaghfirullahalazhiim."
ooOoo
Semenjak Tiya menghilang dari kehidupannya, Jeffry berubah menjadi sosok yang workaholic. Yang ia lakukan hanya kerja dan meluangkan waktunya untuk ibadah dan mengaji. Jeffry selalu menyibukkan diri di kantor dan pulang larut malam kemudian pergi lagi keesokan paginya.

KAMU SEDANG MEMBACA
From Bet to Love ✓ (BELUM DIREVISI)
FanfictionMOHON MAAF TULISANNYA MASIH BERANYAKAN KARENA BELUM DIREVISI. Tiya yang merupakan seorang guru agama, dijadikan bahan taruhan oleh adiknya sendiri saat hendak balapan liar. Karena adiknya kalah, ia harus tinggal di apartemen bersama seorang mahasisw...