“Iska, kenalin nih, temen gue di kelas,” kata Naina. Iska menoleh ke samping kanannya.
“Aku Salma.” Salma mengulurkan tangannya, berusaha bersikap ramah.
“Hai. Aku Iska.” Iska menerima jabat tangan Salma. ”Kok belum pada pesen makan? Aku pesenin, ya.” Iska menawarkan.
“Ya ampun, Iska... Lo tuh sahabat kita yang paaaling baik. Gue pesen bakso sama es teh manis kayak biasa,” kata Dea antusias.
“Eh eh eh, nih bocah. Sabar dulu dong lo anak bawang. Biar kita-kita dulu orang dewasa yang pesen,” kata Elang.
“Apaan sih, Iska aja gak masalah kok kalau Dea mau pesen. Dea kan lapar. Beo kok jahat sih sama Dea?” ucap Dea memasang wajah sedih. Gadis itu terlihat begitu manis, tapi tidak untuk Elang. Ia malah merasa geli melihat ekspresi wajah Dea yang dibuat-buat.
“Udah lo gak usah sok manis gitu. Gak pantes, tahu!”
Naina berdecak sebal melihat perdebatan kedua sahabatnya itu. Setiap hari selalu begitu. “Udah deh, kalian tuh selalu aja ribut. Heran gue sama kalian berdua. Lama-lama gue jodohin juga, nih!”
“Udah, udah... Dea bakso sama es teh manis, Elang apa?” tanya Iska.
“Gue bakso, gak pake mie, sambelnya dipisah, minumnya es jeruk aja.”
“Kok es jeruk?” tanya Dea.
“Emang kenapa? Masalah? Entar kalau gue pesen es teh manis juga lo bakal ngira kalau gue ikut-ikutan lo!” kata Elang tak santai.
“Nah, bagus. Bedain sama Dea, jangan sama-sama.” Elang memutar bola matanya malas.
“Fahri?” tanya Iska.
“Samain aja kayak Dea,” jawab cowok yang sibuk dengan laptopnya itu.
“Iihh... Fahri kok ikut-ikutan Dea, sih?” protes gadis itu tak suka.
“Iihh... Suka-suka Fahri lah,” balas cowok itu meniru cara bicara Dea. Gadis itu malah memasang wajah cemberut yang membuatnya semakin terlihat imut.
“Rendra?” tanya Iska pada Rendra yang duduk di samping kirinya.
“Aku temenin kamu aja. Nanti aku pesen sendiri,” jawab Rendra. Iska mengangguk.
“Salma, mau pesen apa? Biar sekalian aku pesenin,” tawar Iska.
“Oh, gak usah. Aku bawa bekal sendiri, kok.” Salma memperlihatkan kotak makan berwarna birunya.
“Oh, ya udah. Naina pesen apa?”
“Samain aja kayak lo,” jawabnya.
“Oke. Kalian tunggu, ya.” Iska beranjak menuju ibu penjaga kantin diikuti oleh Rendra.
Naina menyuruh Salma duduk di bangku kantin, kemudian ia duduk di samping gadis itu.
“Guys, hari ini jadi, kan, kumpul di basecame?” tanya Fahri.
“Jadi, kok. Pulang sekolah kita langsung ke sana aja,” jawab Naina. “Lo mau ikut juga, Sal?” tanyanya menoleh seraya memegang bahu Salma. Gadis itu malah gelagapan tak tahu harus menjawab apa. “Boleh, kan?” tanya Naina menoleh ke arah teman-temannya.
“Boleh.” Dea yang menjawab. “Boleh, kok. Iya, kan?” ucapnya meminta persetujuan yang lain.
“Boleh lah, boleh banget. Biar kita makin akrab, iya nggak?” ujar Elang antusias.
“Halah... Modus lo!” Naina melempar cowok itu dengan kertas tisu.
“Gue sih setuju-setuju aja. Tapi Salma-nya mau nggak?” ucap Fahri fokus dengan laptopnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
FRIENDS the Seven Teenagers
Teen Fiction[HIATUS] Namatin dulu cerita lain. Genre : Teenfiction, slice of lice, drama, persahabatan Ini cerita harusnya aku buat beberapa tahun yang lalu, request dari temen yang katanya pengen aku nulis cerita lagi, tapi genre persahabatan. Katanya kalau pe...