03 🍬 Pengalihan Issue

2.1K 318 12
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم
One Squell of Khitbah Kedua and the others
-- happy reading --
🍬🍬

Dihantui rasa bersalah. Sedemikian hebatnya sebuah rasa hingga menganggap apa yang semestinya ada menjadi tiada.

Tidak pernah menampik seberapa besar perhatian orang tua untuk semua anak-anaknya. Namun rasa insecure dan merasa tersisih pasti pernah suatu ketika menghinggapi relung jiwa setiap anak di dunia. Merasa tidak diperhatikan, merasa terabaikan, merasa kasih sayang itu tidak adil diberikan.

Aku mendesah, mendapati beberapa pesan singkat ataupun nasihat panjang yang mencoba untuk membuka hatiku. Untuk apa lagi, bukankah hatiku telah memilihnya. Apa karena laki-laki yang tidak bisa menerima kehadiranku lalu aku tidak boleh memperjuangkannya?

Kamajaya, mengapa harus ada laki-laki sempurna itu ada ditengah keluargaku saat ini. Dia datang menawarkan sebuah komitmen dengan langsung memintaku kepada abang juga daddy yang sepenuhnya berhak atas tanggungjawabku. Sudah kubilang, hatiku telah bermuara di dermaga yang berbeda. Lalu apa dia bilang? Dia bersedia menungguku hingga aliran air itu bermuara di dermaga hatinya.

Dia ini dokter yang masuk dalam kategori apa, bego, bodoh atau tolol? Entahlah. Semakin aku berpikir semakin pusing aku dengan pemahaman semua orang di sekelilingku.

"Apa sih Kak, kurangnya Kamajaya?" Suara bang Hafizh menusuk gendang perunguku. Seolah aku ini dipaksa makan sesuatu yang tidak ingin aku makan.

Ini bukan masalah kurang atau lebih. Siapa yang bilang kak Kama banyak kurangnya, justru karena dia lebih namun bukan karena itu. Alasannya adalah hatiku yang tidak bisa berbelok dengan mudah.

"Abang memang belum lama mengenalnya, tapi hati kecil abang berkata bahwa Kama jauh lebih baik daripada anak sahabat bunda itu." Sepertinya pantangan bagi bang Hafizh menyebutkan nama pak Aftab mengingat apa yang telah terjadi diantara mereka di masa lalu.

"Dia itu punya nama Bang, pak Aftab. Sensi banget sih jadi orang." Aku menghela nafas kasar. Kejadian itu sudah lama berlalu tapi sepertinya bang Hafizh enggan untuk menghapus memori pahit itu dari hatinya.

"Tanya pada mbak Ayya, Kak. Dia lebih kenal dengan Kamajaya." Sambung abangku lagi.

"Mengapa tidak mbak Ayya saja yang diinginkan kak Kama, ish. Menyusahkan saja." Aku memilih untuk pergi menghindari jawaban dari abangku yang sudah pasti akan menceramahiku panjang kali lebar.

Pelarianku mengantarkan aku ke rumah sahabatku Aira. Dulu dia begitu getol bersama Elvira ingin mendekatkanku dengan pak Aftab. Mereka selalu kompak, namun setelah semuanya terungkap, entahlah, apa yang akan mereka berdua lakukan kepadaku.

"Hei cemberut saja, mana Almira yang selalu riang." Aira menyapaku saat moodku masih belum sepenuhnya kembali dengan baik.

Tiba-tiba aku menangis dan Aira memelukku. "Ra, dulu kamu pernah berada di posisiku. Saat abangku sendiri justru dengan mentah-mentah menolak kehadiranmu." Aira justru tergelak. Mungkin dia mengingat kisah cinta monyetnya untuk bang Hafizh dulu.

"Jadi masalah hati yang membawamu kemari." Aku mengangguk lalu sekilas melihatnya tersenyum. "Almira, Almira, coba kamu ceritakan kepadaku bagaimana cerita yang sesungguhnya."

Menceritakan semua yang menimpaku itu seperti halnya aku telanjang di depan Aira. Tapi sungguh aku butuh orang yang bersedia mendengarkan semua unek-unek yang ada di dalam hatiku. Dan pilihanku kepada Aira, aku yakin dia bisa memberikan pendapatnya untukku dengan tanpa memihak siapa pun diantara kami. Karena dulu kami semua tahu bahwa Aira pernah menaruh rasa kepada abangku dan semua berakhir dengan kata baik-baik saja.

love of ALMIRAWhere stories live. Discover now