- Selamat Menikmati -
.
.
.WENDY pulang dengan terburu. Beberapa kali selama berlari ia menoleh ke belakang. Memastikan tidak ada yang mengejarnya. Sungguh, napasnya tersendat-sendat. Tetapi tidak ada waktu untuk istirahat sejenak. Jujur saja, Wendy menyesal mencari bahan makanan terlalu jauh. Wendy merutuki dirinya yang terlalu berani. Padahal, ia bukan apa-apa tanpa Peter Pan.
Rumah kayu Peter sudah tampak. Sedikit lagi ia sampai namun, langkahnya terhenti. Ketika sang pemilik rumah tiba-tiba berdiri gagah dengan tangan bersedekap di hadapannya.
"Ibu, kau dari mana?"
Suara sarkasme itu meluncur dan masuk dengan menyeramkan ke telinga Wendy. Wendy menelan saliva. Sepertinya ia sedang disidang.
"Aku mencari makanan."
"Dengan menelantarkan anak-anak?"
"Aku tidak begitu! Aku hanya pergi sebentar—“
"Sebentar katamu, sialan?! Kau buta waktu, Wendy?!"
Wendy tersentak. Peter baru saja membentaknya. Peter ... berkata kasar padanya. Wendy linglung sementara. Seperti kehilangan separuh kesadarannya. Satu pun kata tidak ada yang keluar dari mulut gadis itu. Diam membisu dengan tubuh kaku.
Tidak lama kemudian raut Peter berubah lunak. Sedikit penyesalan tersirat di sana. Tetapi Wendy tidak melihat itu. Sebab air matanya sudah berlinang.
Peter maju; Wendy mundur.
"Wendy," panggil Peter dengan mata sayu.
Wendy menggeleng tetapi mulutnya tetap terkatup rapat.
"Aku minta maaf. Aku berlebihan tadi, tolong jangan menangis," mohon Peter sembari berlutut di depan Wendy.
Jujur saja Wendy tersentuh. Tetapi ia masih cukup terkejut dengan sikap Peter tadi. Diminta begitu, air matanya malah meluncur sukses di pipi. Hampir ia tersedu jika saja Peter tidak mendekapnya cepat.
"Wendy kumohon ... jangan menangis."
"Kau menyakitiku," ucap Wendy di sela tangisnya.
Peter mempererat dekapannya. "Dan kau juga menyakitiku ... dengan menangis."
Tidak ada lagi yang bisa Wendy lontarkan. Seiring dengan usapan lembut Peter di punggung Wendy, Wendy balas memeluk Peter. Erat.
***
"Pangeran menciumnya tepat di depan Putri Ariel. Sakit hati, Putri Ariel menyerahkan dirinya pada Poseidon. Sang putri rela menjadi buih di lautan oleh karena sakit hatinya yang terlalu dalam. Bagi Putri Ariel, hidup pun percuma jika tujuannya saja sudah menghancurkannya. Selesai."
Wendy menilik anak-anak di sekelilingnya; semua sudah tertidur. Menghela napas, Wendy menatap ke atap rumah. Matanya meredup. Teringat keluarganya, Wendy mulai rindu. Rindu bagaimana ia terbangun menjadi seorang anak, yang tugasnya adalah mematuhi ucapan orang tua. Tugas yang menurutnya dulu begitu berat dan menyebalkan. Namun, setelah merasakan menjadi orang tua, rasanya Wendy ingin menjadi anak-anak saja. Yang tidak perlu pusing memikirkan bagaimana anaknya makan. Pakaian apa yang pantas anaknya pakai. Memastikan anaknya tetap aman dalam jangkauan—tidak dalam bahaya berbentuk apa pun itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Another Neverland
FantasyWendy suka membaca cerita. Tapi sulit menceritakannya. Wendy penyuka cerita dongeng. Tapi benci akhir bahagia. Karena Wendy tahu, FAIRY TALE, hanya ada di buku saja. Cinderella menjadi budak hingga akhir hayat. Putri tidur tidak pernah dicium pange...