- Selamat Menikmati -
DENGAN cekatan jari-jari lentik itu meracik obat dari tumbuhan hijau yang sudah ditumbuk lalu dicampur air ke dalam sebuah wadah berupa corong kecil yang terbuat dari daun. Mulutnya sesekali bersenandung. Merdu. Suara Wendy memang merdu. Dongengnya bisa menjadi nyanyian pengantar tidur karena suaranya yang merdu. Bahkan hewan-hewan lain pun mendekati sekeliling rumah Peter demi bisa mendengar suara Wendy yang entah kenapa sedap didengar."Wendy cepatlah! Anak-anak sudah lapaaaar!"
Suara Peter Pan menggema dari dalam. Terburu-buru ia bereskan hasil perbuatannya. Lalu membawa obat yang sudah selesai ia buat untuk Peter masuk ke dalam rumah.
Wendy berjalan dengan langkah cepat. Takut anak-anak sudah terlalu lapar menunggunya, juga takut Peter akan marah padanya.
Ia letakkan obat itu di hadapan Peter. Dan dirinya segera menempati tempatnya sendiri. Memperhatikan satu per satu piring di meja itu. Sudah lengkap, ia mengangguk pada lelaki di sebelahnya. Dan acara makan pun dimulai sesudah Peter berkata, "Waktunya makan. Pelan-pelan dan ... Mari makan!"
Acara makan berjalan seperti biasa. Hening. Tidak ada bunyi denting sendok atau piring, yang ada hanya bunyi kunyahan atau kecapan khas bocah liar. Mereka tidak memiliki orang tua yang mengajarinya tentang hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Di keluarga Wendy sendiri bunyi kunyahan tidak boleh terdengar saat makan bersama. Tapi itu Wendy, bukan mereka.
Oh, ada dua anak tambahan di meja makan ini. Michael dan John. Mereka adik Wendy yang terbawa ke sini karena pada saat itu mereka datang dengan niat menolong kakaknya yang malah jadi melibatkan keduanya. Tapi, ada yang aneh dari mereka. Seperti___
"Michael, perhatikan mulutmu. Bukankah sudah sering aku ingatkan, pe-lan-pe-lan. Setelah ini cuci mulutmu," tutur Wendy.
"Baik, Ibu."
___itu. Seperti itu contohnya. Adiknya selalu memanggilnya 'ibu'. Setiap ditanya__
"Siapa nama ayahmu, Michael?"
"Tentu saja Peter!"
"Siapa nama ibumu, John?"
John yang tengah asik mengunyah lantas berhenti dan memandang Wendy seolah ia adalah makhluk ter-aneh di dunia.
"Kau bercanda, Ibu?"
"Pertanyaan itu dijawab bocah nakal, bukan bertanya balik."
"Sudah jelas aku memanggil 'ibu' hanya padamu, Wendy."
Suara batuk terdengar dari sebelah kanannya. Ia menoleh. Peter menatap penuh peringatan pada mereka bertiga. Yang langsung membuat kedua adiknya menunduk tapi tidak dengan Wendy.
"Saat makan mulut bekerja untuk mengunyah dan menelan. Bukan berbicara," sindir Peter membuat suasana seketika hening. Bahkan Tootles yang akan menyuap makanannya terhenti di udara. Merasa bersalah sudah menimbulkan hal yang seharusnya tidak terjadi, Wendy menimpali,
"Makanlah, Ayah marah padaku, bukan kalian."
Lalu keadaan kembali seperti semula meski sedikit kaku. Selesai makan malam para bocah liar dan kedua adiknya bersiap tidur. Mereka mencari posisi ternyaman untuk menyiapkan telinga mendengar cerita Wendy. Dongeng sebelum tidur seperti biasa.
"Hari ini dongeng 'Hansel dan Gretel' ya? Kalian tahu?"
Para bocah liar semakin merapat. Tikus-tikus beserta hewan kecil lain menghampiri di sekeliling rumah. Pun ada kelinci hutan yang entah datang dari mana. Juga dengan kunang-kunang yang hinggap di dinding--atau atap--rumah memberi penerangan di tengah gelapnya malam.
"Tidak, Ibu." seru ke-delapan anak itu serempak.
"Jadi_________
● ● ●
Srek ... srek ...
"Perhatikan langkahmu, jangan membangunkan anak-anak."
Seruan dingin dari sosok di depan sana menghentikan langkah kakinya yang akan menuju sosok itu. Tapi tak lama karena ia segera melangkah kembali ke sana lalu duduk bersimpuh di samping sosok itu.
"Selalu keras kepala," gumam sosok di sebelahnya.
Ia mengangguk ringan. "Hm."
Malam ini pekat sekali. Gelap gulita seakan tidak ada langit di atasnya. Matanya berkelana mencari bintang atau apapun itu yang seharusnya menyinari malam. Tapi ia belum lama di sini dan selama itu pula ia tidak pernah melihat satu-pun bintang di atas sana.
"Apa memang seperti ini? Selalu gelap gulita?"
"Kenapa ingin tahu?" Sosok itu malah bertanya balik.
"Ini aneh,--"
"Apa yang aneh?"
Ia memutar bola mata saat ucapannya di potong. Tapi ia tetap melanjutkan.
"Tidak hanya malam ... siang pun seakan sunyi. Di langit sana selalu mendung. Aku tidak pernah melihat cerah selama di sini."
"Ada yang tidak kau tahu," Sosok itu menjeda saat tangannya mengambil ranting di pohon sebelahnya. Ia menggoyangkan ranting itu di udara. "Kau tahu dunia ini milik siapa, Wendy?"
Wendy menggeleng. Tapi kemudian mengangguk setelah teringat sesuatu. "Milik__mu_?" tanyanya ragu-ragu.
Peter tersenyum lebar dalam keremangan malam. Ia menepuk pucuk kepala Wendy dua kali. "Sudah pintar rupanya."
"Hm. Lalu?"
Peter berlagak berpikir seperti hal itu adalah pertanyaan sulit. Kekonyolannya timbul. Ingin sekali tangan kanannya melayang ke belakang kepala bocah itu. Tapi tidak jadi karena setelah dipikir-pikir ia masih punya pertanyaan yang belum dijawab.
"Neverland milikku. Itu artinya, bagaimana kondisi cuaca dan keadaan di sini tergantung denganku."
Wajah songongnya luntur seketika saat ia memilih merunduk menatap tanah tempatnya duduk. "Ini Neverland, Wendy. Seharusnya kau tahu bagaimana duniaku melihat dari tingkah laku diriku. Awalnya, Neverland ceria. Cerah. Seperti dunia anak-anak pada umumnya.
"Tapi, dunia ini berhubungan dengan perasaanku. Kau tentu mengerti maksudku, Wendy."
- Bersambung -
KAMU SEDANG MEMBACA
Another Neverland
FantasíaWendy suka membaca cerita. Tapi sulit menceritakannya. Wendy penyuka cerita dongeng. Tapi benci akhir bahagia. Karena Wendy tahu, FAIRY TALE, hanya ada di buku saja. Cinderella menjadi budak hingga akhir hayat. Putri tidur tidak pernah dicium pange...