02. Exchange

109 9 2
                                    

Pusing

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Pusing. Rasanya kepalanya ingin meledak saat itu juga.

Atri memaksa matanya untuk terbuka. Rasa sakit yang menjalar itu semakin membuat kepala dan tubuhnya terasa panas.

Langit-lagit putih dan garis coklat membentuk kotak di pinggir. Satu lampu berada di tengah-tengah. Pemandangan yang pertama dia lihat.

Bau obat-obatan dan bunyi alat pendeteksi detak jantung menambah keyakinannya kalau dia sekarang berada di rumah sakit. Lagi.

Tubuhnya panas, seperti terbakar. Atri meronta.

Membuat laki-laki yang duduk di kursi samping nakas rumah sakit, sadar dari tidurnya.

"Air," lirih Atri.

Matanya merem melek sambil memengang tenggorokannya. Dia sangat tidak tahan dengan panas yang menjalar di seluruh tubuh.

Laki-laki itu mendekat, mengangkat kepala Atri perlahan dan menyodorkan air yang tadi ia ambil di dispenser dekat pintu.

Atri menenggaknya hingga tandas. Tapi panas itu semakin menyiksanya.

"Panas," ujarnya kesakitan.

Atri belum sadar dengan kehadiran laki-laki itu.

Laki-laki itu berpikir. Ciri-ciri yang sedang dialami Atri sama persis dengan apa yang dipelajarinya.

Atri sedang tersiksa karena sudah dua hari tidak bersentuhan dengannya.

Itu adalah efek samping dari pertukaran yang dilakukannya malam itu.

Laki-laki itu menyentuh dahi Atri. Menyalurkan suhu tubuhnya yang dingin. Dia sempat kaget, belum pernah menyentuh makhluk hidup yang sepanas itu.

Perlahan, Atri merasakan tubuhnya kembali normal. Rasa sakit itu berangsur hilang.

Namun dia segera sadar, ada benda berat di kepalanya. Atri mendongak dan mendapati laki-laki yang ditemuinya dalam mimpi sedang berdiri di sampingnya.

"Sudah hilang?" tanya laki-laki itu.

Atri menampar pipinya pelan. Sakit.

Sekarang dia benar-benar di dunia nyata.

Atri diam, menatap mata coklat terang laki-laki itu yang tengah fokus padanya.

"Jadi, gue beneran nggak mimpi?" Suara Atri memecah keheningan mereka.

Laki-laki itu menghela napas, dia menarik tangannya dari dahi Atri setelah suhu tubuh gadis itu normal.

"Tiga hari yang lalu juga aku udah bilang. Ini bukan mimpi," balasnya.

"Dan itu?"

Paham maksud Atri, laki-laki itu menatapnya lama.

Dia memang harus menjelaskan semuanya.

Kembali duduk di kursi samping nakas, laki-laki itu kembali bersuara.

Mer(maid) ManTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang