Chapter 4 - Nembak?

89 50 14
                                    

Di saat ia mencoba berdiri untuk mengejar Rino, ia hanya dapat terjatuh kembali dan meringgis

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Di saat ia mencoba berdiri untuk mengejar Rino, ia hanya dapat terjatuh kembali dan meringgis. Rino yang menyadarinya langsung kembali mendekat.

"Tahan, aku akan segera kembali. Kamu jangan ke mana-mana."

"Ah, tapi ...." Ucapan Mitha tertahan saat Rino kembali pergi meninggalkannya. Ia hanya dapat duduk memeluk lututnya yang berdarah.

Ternyata Rino pergi untuk membeli antiseptik dan perekat luka. Ia berlari pulang ke rumah untuk mengambil uang agar dapat membelinya di apotek.

"Masih sakit?"

Mata Mitha berkaca-kaca. Ia mengira bahwa Rino marah karena ia masih tidak bisa bersepeda dengan baik, bahkan terjatuh. Mitha langsung berhambur memeluk Rino.

"Kenapa nangis? Cengeng, ah! Baru juga jatuh sekali."

"Aku pikir ... aku ditinggalin."

"Maaf ... karena sudah membuatmu menunggu." Rino lalu membalas memeluk Mitha dan menepuk pelan punggung gadis itu. Kemudian mengobati luka Mitha dengan cekatan layaknya seorang dokter.

"Lukanya enggak parah, sebentar lagi juga sembuh."

"Rino, kamu-"

"Ah, payah! Kamu pasti berpikir kalau aku orangnya sok tahu, ya?" potong Rino tanpa mempertanyakan pernyataan Mitha terlebih dahulu.

"Enggak, kok!"

"Sebenarnya, saat dewasa nanti, aku ingin menjadi dokter. Bukan karena keterpaksaan akibat papaku yang merupakan seorang dokter, tetapi karena aku ingin mengikuti jejak ayah papa yang juga seorang dokter. Menolong dan menyelamatkan banyak orang," jelas Rino.

"Tapi mana mungkin bisa," lanjutnya setelah beberapa saat terdiam.

"Bisa, kok! Pasti bisa! Selama kita bertekad dan terus berusaha, semuanya akan menjadi mungkin." Mitha memberi semangat dan dibalas Rino dengan senyuman. Untuk sesaat dan pertama kalinya, gadis itu merasa berdebar.

Karena pikiran Mitha terlalu lama dibiarkan melayang pada masa lalunya ketika kecil, ia jadi tidak mendengar suara Lisa. Hingga suara itu menguat dan membuatnya tersadar, "MITHA, HATI-HATI!"

Namun, ketika kesadarannya telah sepenuhnya kembali, sudah terlambat untuk dirinya menghindar. Mitha langsung jatuh pingsan dalam sesaat. Bola karet yang melambung mengenai kepalanya, membuatnya yang sebelumnya kurang tidur langsung terlelap tidak sadar.

Saat itu, pelajaran olahraga tengah berlangsung. Mereka memainkan permainan dodgeball. Awalnya semua tampak baik-baik saja, hingga tim Mitha yang berada di depan dalam menghalangi Mitha yang tampak bengong semakin lama semakin berkurang karena terkena bola dari lawan.

***

Mitha terbangun dengan rasa sakit di kepalanya. Ia tidak ingat dengan baik apa yang telah terjadi. Gadis itu hanya ingat Lisa yang meneriaki namanya, lalu semuanya mendadak gelap.

Mitha melirik arloji di pergelangan tangannya. Sebentar lagi bel pulang, itu artinya ia telah pingsan dan tertidur di UKS sejak pelajaran olahraga.

Suara pintu UKS terdengar dibuka dengan kasar bersamaan dengan bunyi bel yang nyaring. Lisa tampak berjalan mendekat dan langsung memeluk Mitha saat melihat gadis itu telah sadar.

"Mithaa ...! Gue pikir lo enggak bakal bangun lagi."

"Heh, memangnya ada yang meninggal gitu, kalau kena lemparan bola?" sewot Mitha.

Lisa cengengesan. Ia melepas pelukannya, kemudian memegang kedua bahu Mitha dan menatap gadis itu dengan serius.

"Untunglah sekarang lo baik-baik saja. Pas lo pingsan, tahu enggak, Rino yang paling heboh dan kelihatan cemas. Dia yang langsung gendong lo ke UKS."

"Eh? Serius?"

"Ya, iya. Memangnya menurut lo, siapa yang bakal bawa lo ke UKS? Pak Herman, guru olahraga kita?"

"Ah, gitu, ya ...."

"Kepala lo udah enggak sakit, kan? Udah waktunya pulang, nih, jangan lanjut tidur lagi."

"Iya, tahu. Tapi kenapa lo enggak sekalian bawain tas gue pas ke sini? Biar gue enggak perlu lagi ke kelas ambil."

"Gue mau bawa, tapi keduluan Rino. Mending lo langsung temuin dia aja, deh. Lagian, lo juga biasanya temuin dia di depan gerbang sekolah, kan?"

Hati Mitha tiba-tiba berdebar tidak karuan. Ia kembali teringat ucapan Rino yang mengatakan ingin membicarakan sesuatu dengannya.

"Sana pergi. Udah ditungguin, tuh!"

Mitha menganggukkan kepalanya, lalu berjalan cepat meninggalkan ruangan UKS. Saat melihat Rino yang tengah berdiri di depan gerbang sekolah, Mitha lekas berlari mendekat.

"Rino!" sapanya dengan napas yang cukup tidak beraturan.

"Ah, lo udah sadar? Gimana kepala lo?"

"Udah enggak apa-apa, kok. Hm, tas gue ..."

"Biar gue aja yang bawa. Yuk, jalan!" potong Rino sambil mengenggam tangan Mitha.

Napas Mitha mendadak tertahan. Debaran hatinya terasa semakin kencang. Tidak seperti biasanya ketika mereka pulang bersama, Rino mengandeng tangannya.

Sepanjang perjalanan pulang, tidak ada seorangpun diantara mereka yang berbicara. Rino yang biasanya selalu bergurau dan banyak bicara, tampak diam dan larut dalam pikirannya.

Saat beberapa meter lagi tiba di rumah, Rino berhenti dan melepaskan genggaman tangannya.

"Seperti yang gue bilang saat di kantin tadi, ada sesuatu yang mau gue bicarakan ...," jeda Rino sambil merogoh saku celananya.

To be continue ...

[SUDAH TERBIT] Akhir PenantianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang