Tim Sampah?

31 5 0
                                    

Arvin tersenyum penuh arti menatap kalender tahunan yang menggantung di dinding. Tangan kanannya bergerak mengambil spidol merah di meja, kemudian menyilang tanggal sekarang di daftar hari dan bulan dalam setahun bergambar tim sepak bola sekolahnya.

Tiga bulan lagi kita bawa pulang piala juara sebagai bukti bahwa kita bisa, bisiknya dalam hati dengan penuh keyakinan.

Arvin kembali meletakkan spidol merahnya di tempat semula. Ia segera mengambil tas hitam yang teronggok di meja belajar dan menyampirkannya di bahu kanan.

"Selamat pagi, Ma, Pa, Dei." Sambil berjalan ke meja makan, Arvin menyapa keluarga kecilnya yang sudah siap menyantap sarapan.

Kedua orang tuanya membalas sapaannya dengan senyum hangat. Berbeda dari kedua orang tuanya, Deira justru memajukan bibirnya. "Habis luluran dulu ya, Bang? Kalau mau luluran pagi itu bangunnya jam empat, biar enggak telat kayak gini."

Arvin menarik kursi di samping Deira. Tak terbesit niat sedikit pun di benak Arvin untuk membalas celotehan adiknya. Ia memilih langsung duduk dan menyantap makanan yang sudah disiapkan oleh sang ibu.

"Pa, abang dirukiah aja, tuh. Nyebelin banget kalau lagi Dei omelin."

"Oh, tadi itu lo lagi ngomelin gue? Salah apa emang?" tanya Arvin dengan alis terangkat sebelah. Deira semakin memajukan bibirnya hingga kini mirip seperti bibir ikan koi.

"Ini bibir monyong amat kayak ikan lohan." Tanpa perasaan, Arvin mengambil ayam goreng upin ipin, kemudian memukulkan pelan ke bibir sang adik supercerewet itu.

"Abang!"

Kedua orang tuanya hanya menggeleng menyaksikan kedua anaknya bertengkar hanya karena hal yang sangat sepele. Berkebalikan dengan Arvin yang tersenyum kecil menanggapi gelengan orang tuanya, Deira justru menyantap makanannya dengan penuh kesal, bahkan kakinya pun mengentak kecil.

Juan mulai membuka suara setelah sarapannya habis tak tersisa. "Bang, gimana persiapan untuk turnamen? Sebentar lagi, kan?"

Arvin yang awalnya sibuk memakan ayam goreng, kini menatap papanya dengan senang. Jika ada yang bertanya tentang timnya, sungguh ia merasa dianggap. "Iya. Latihan tiap sore di lapangan, Pa. Makin hari makin bagus mainnya."

Juan mengangguk paham. Hanya itu yang bisa ia lakukan untuk menyenangkan hati sang putra. Ia tahu, meski sederhana, si sulung selalu menghargai. Berbeda dengan Juan, sang istri hanya melirik sejenak.

"Kamu itu mau ujian, Vin. Jangan kebanyakan main, belajar yang benar biar lulus dengan nilai terbaik." Arvin menoleh ke arah ibunya yang berucap tanpa menatap.

"Ujian masih lumayan lama kok, Ma."

"Tapi kamu harus persiapkan matang-matang sejak sekarang."

Tidak ada pilihan lain selain mengiakan ucapan mamanya. Yunita adalah anggota keluarga yang paling tidak setuju dengan keputusan sekolah yang memberikan jabatan kepada Arvin untuk menjadi kapten sepak bola.

Julukan kapten yang disandang oleh Arvin selalu dipandang sebelah mata. Ia kerap kali dianggap sebagai kapten yang bodoh karena tidak bisa membawa timnya lolos turnamen. Mungkin bagi orang lain, ia adalah kapten terbodoh yang pernah ada. Namun, bagi tim sepak bolanya, ia adalah kapten terbaik sepanjang masa.

⚽️⚽️

Arvin melewati koridor dengan santai meskipun banyak celotehan-celotehan tak jelas masuk ke gendang telinganya di sela-sela lagu yang berdendang melalui headset yang menyumpal lubang telinga. Di tengah kakinya yang masih mengayun, sebuah tepukan di bahu kiri berhasil menghentikan langkah.

"Selamat pagi, Kapten tim sepak bola yang enggak pernah bawa pulang piala juara." Seorang pemuda berjalan mendekat ke arah Arvin dengan begitu angkuh.

Meski sebetulnya Arvin malas, tetapi tetap memperlihatkan senyum ramahnya setulus mungkin. "Ada apa?"

THE LAST CHANCETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang