Es Lilin

32 5 0
                                    

Waktu istirahat yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba, tak sedikit siswa-siswi yang memilih kantin sebagai tempat menghabiskan waktu istirahat dengan mengisi perut.

Hal itu tidak berlaku bagi Arvin, ia justru memperhatikan sahabatnya yang terus mengacuhkannya sejak kejadian di koridor pagi tadi. Oka yang sedang mengerjakan tugas hanya diam tak memedulikan tatapan Arvin.

"Ka, gue lakuin itu bukan karena gue rela tim kita diinjak-injak. Gue cuma enggak mau kebawa emosi dan berujung ribut."

Semua ucapan Arvin yang mengudara hanya dianggap angin oleh Oka. Arvin mengembuskan napas berat, ternyata Oka masih marah padanya. Sesaat, Arvin menelan ludah ketika cacing di perutnya berdemo mengoyak perut sebab minta makan. Ingin sekali ia pergi ke kantin untuk sekadar mencari pengganjal lapar, tetapi rasanya tidak mungkin. Jika sedang dimusuhi begini, Arvin merasa tidak nyaman berbuat apa pun.

Tak lama, dua sahabat yang berbeda kelas muncul dari balik pintu kelas. Mereka datang menghampiri Arvin dan Oka yang terlihat saling bungkam.

"Tumben pada anteng. Kenapa?" tanya Haikal meletakkan dua gelas plastik berisi jus jeruk di meja.

Arvin mengucap untaian rasa syukur dalam hati kepada Tuhan karena telah mengirimkan dua manusia untuk menolongnya di tengah-tengah rasa lapar yang kian mendera. Tak lupa juga berterima kasih kepada dua temannya yang sungguh pengertian.

"Itu jus kesukaan kalian, kan? Gue beliin, gratis," ucap Haikal dengan bangga. Jarang-jarang bocah itu membelikan sesuatu untuk temannya. Justru dialah yang sering dibayari makan.

Oka melirik Haikal sedetik, kemudian bangkit dan berjalan ke arah pintu kelas membuat kening Haikal berkerut. "Lo mau ke mana, Ka?"

Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Oka, pemuda itu terus melanjutkan langkahnya hingga depan pintu kelas yang terbuka lebar. Jus jeruk yang semula akan diteguk, kembali diletakkan di meja oleh Arvin.

Arvin bangkit dan mengejar Oka. "Oka, stop. Gue minta maaf kalau gue terkesan enggak membela tim kita yang diinjak-injak. Gue cuma enggak mau punya urusan sama BK cuma karena tim—"

"Cuma karena tim kita dianggap sampah? Lo bilang cuma? Kita dianggap sampah, Vin. Lo tau sampah itu apa, kan? Benda bekas yang menjijikkan dan pantas untuk dibuang. Kenapa lo diem aja waktu Andra bilang kalau tim kita ini sampah. Apa lo udah kehabisan kata-kata mutiara busuk lo, hah?!"

Tak peduli jika dirinya menjadi bahan tontonan oleh beberapa siswa yang berlalu lalang melewati kelasnya, Oka mengeluarkan amarahnya kepada Arvin yang terus berusaha memasang raut tenang—meski tak ada yang tahu dalam hatinya, ia cukup terluka mendengar lontaran kalimat Oka.

Haikal dan Ibeng langsung menghampiri keduanya. Tentu saja mereka cukup terkejut sekaligus binggung mendengar penuturan Oka yang begitu marah. Mereka tidak tahu apa-apa.

"Lo rela tim kita dianggap sampah sama Andra? Lo kapten apa bukan sih, hah?! Kapten itu belain timnya supaya enggak diinjak-injak. Dan lo ... lo malah diam saat itu. Lo adalah kapten yang paling bodoh!"

Sebuah tinjuan melayang dari arah kanan Oka, Haikal pelakunya. Ia begitu geram mendengar Oka yang dengan mudahnya berkata bahwa Arvin adalah kapten yang bodoh.

"Lo enggak usah ikut campur!"

"Lo kelewatan, Ka! Lo sendiri yang bilang kalau Arvin adalah kapten terhebat yang kita punya, tapi kenapa sekarang lo hina dia, hah?!" Haikal turut terbawa emosi, ia menarik kerah seragam Oka.

Arvin tak mau tinggal diam, ia menarik lengan Haikal agar melepaskan cengkeramannya dari kerah seragam Oka. Jika dibiarkan, mereka bisa berkelahi dan berujung masuk BK. Ia juga tak ingin tim sepak bolanya direndahkan lagi karena kekacauan seperti ini.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 24, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

THE LAST CHANCETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang