Siap Menang?

91 12 2
                                    

Lagu bertajuk "Manusia Kuat" milik Tulus—seorang penyanyi terkenal Indonesia—mengudara dari speaker yang berada di pojok kamar minimalis bercat abu-abu.

Sambil bercermin, Arvin yang tengah bersiap-siap pergi berlatih sepak bola turut menyanyikan lagu yang selalu bisa membakar semangatnya. Sisir biru yang baru saja digunakan untuk merapikan rambut, kini beralih fungsi menjadi mikrofon.

Senyumnya mengembang setelah mampu menyanyikan lirik yang ia anggap sebagai lirik tersulit jika dijangkau dengan nada tinggi.
Arvin terkekeh mengingat dirinya yang sering gagal dalam menyanyikan high note sebuah lagu. Kali ini ia merasa benar-benar puas dengan pencapaian yang sebenarnya tak seberapa.

Arvin terus memandangi pantulan wajahnya sendiri di cermin sambil mengikuti alunan lagu penggugah semangat itu hingga selesai.

Tampan.

Satu kata yang Arvin dapatkan dari pancaran wajahnya. Biarkan saja ia memuji diri sendiri, lagi pula jika bukan dirinya, siapa lagi? Toh memang kenyatanya demikian. Namun, jika diteliti kembali sepertinya ada yang kurang.

Ah, bandana! Arvin melupakan ikat kepala berwarna hitam yang selalu ia gunakan agar tidak ada anak rambut yang menusuk bola matanya saat menggiring bola.

Arvin mengambil bandana yang tergeletak di atas kasur. Ia sedikit membungkukkan tubuh karena tempat tidurnya memang cukup rendah—tempat tidur tanpa ranjang.

Ketika sudah meraih bandana hitam dengan tangan kanan dan kembali menegakkan tubuhnya, Arvin merasa kepalanya berdenyut nyeri dan pandangannya mulai mengabur.

Tiba-tiba tubuhnya limbung. Awalnya memang bisa ditahan dengan berpegangan pada tembok di sisi kanan, tetapi rupanya pening di kepala lebih kuat dibanding pegangan tangan Arvin sehingga pemuda itu jatuh terduduk. Ia menunduk, menekan sisi kepala yang teramat sakit.

Ini bukan kali pertama, Arvin memang sudah sering mengalami sakit kepala begini, tetapi selalu abai. Jangankan pergi ke dokter, minum obat saja enggan. Ia pikir, hanya perlu diam sebentar hingga sakitnya hilang dengan sendirinya.

"Abang, bangun. Katanya mau latihan sepak bola. Udah jam tiga sore, nih."

Ketukan pintu dari luar kamar membuat kepala Arvin semakin berdenyut. Arvin hafal siapa pemilik suara cempreng itu. Pasti Deira, adik perempuannya yang masih duduk di bangku SMP kelas sembilan.

Siang tadi—setelah pulang sekolah—Arvin meminta Deira membangunkan dirinya setelah pukul empat sore. Rupanya gadis itu memenuhi permintaannya—meski sebetulnya ia sendiri juga memasang alarm.

Berkali-kali gadis itu mengetuk pintu, Arvin justru semakin menulikan telinganya agar tidak semakin pusing akibat mendengar suara terlalu keras. Deira mulai jengah. Tanpa permisi, ia membuka pintu kamar kakaknya yang tidak terkunci. Deira menduga bahwa sang pemilik kamar masih tertidur. Namun, tebakannya meleset. Ketika pintu baru terbuka setengah, bola mata Deira membulat lebar melihat kakaknya terduduk di lantai sambil terus meremas kepala.

"Abang!" pekik Deira berlari menghampiri kakaknya yang sudah terlihat lemas.

"Gue enggak pa-pa, santai aja." Arvin berucap tanpa menoleh ke arah Deira yang menatapnya lekat-lekat dari samping.

"Santai Abang bilang? Abang kesakitan. Ayo Dei bantuin bangun." Deira bukan anak SD lagi yang bisa ditipu hanya dengan kata "Enggak pa-pa."

Meski sedikit kesulitan, Deira berhasil membantu Arvin bangkit dan mendudukannya di tepi kasur. Tubuh kakaknya ternyata lumayan berat, padahal kelihatannya kurus.

"Abang enggak usah latihan dulu, ya? Daripada nanti di lapangan sakit lagi." Setelah memberikan segelas air mineral yang tersedia di nakas, dengan penuh perhatian Deira mengelap kening dan pelipis Arvin yang dipenuhi peluh.

THE LAST CHANCETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang