"kak niel cepetan, sakit ini," keluhnya sambil bersandar pada dada kakaknya, miller.
tampak khawatir, niel menaikkan kecepatan mobil dan segera menuju rumah jaya. sesekali ia menengok ke belakang, wajah pucat dari diajeng semakin membuatnya kalang kabut dan membelokkan mobil ke pekarangan rumah jaya dengan segera.
"kak, pusing," keluh diajeng lagi, tadi di rumah ia hampir tidak sadarkan diri karena melihat darah mengalir di tangannya, sekarang malah mengeluh seperti ini. dengan kebesaran hatinya, niel mengambil alih diajeng yang dipapah miller. dengan sigap ia menggendong diajeng tanpa disuruh.
miller tercengang, apa iya ini niel yang ia kenal? kenapa jadi super perhatian dengan adiknya? bukannya tadi tidak suka dan menolak mentah-mentah ketika digoda?
sambil berjalan ke pintu, miller mengetuk rumah dokter senior itu berkali-kali.
tok tok tok!
"jay! anjay! bukain woi, adek gue luka!"
niel berdecak sambil terus menahan tubuh diajeng. "lo yang bener aja panggil jaya begitu?! darurat, mil, astaga!!"
"kok lo lebih panik dibandingkan gue yang abangnya ajeng?"
"..."
cuma diam. niel juga bingung, namun ia hanya ingin menolong sesama. mungkin itu yang ada di dalam benaknya saat melihat diajeng terluka. bukan apa-apa, tadi saja ia melihat darah berceceran di lantai setelah diajeng berteriak, apa itu tidak membuat panik seketika?
"lo beneran udah suka sama adek gue, el?" bisik miller pelan ke telinga niel, laki-laki berkacamata itu mendorong bahu miller jauh-jauh.
"nggak penting sekarang. ini adek lo, mil, astaga lagi darurat."
diajeng mengembuskan napasnya pelan ke leher niel—yang masih kuat menggendongnya ala bridal style itu—dan kembali mengeluh. "kak niel, sakit banget."
mendengar keluhan itu, miller kembali mengetuk pintu rumah jaya dengan keras.
tok tok tok!
"jaya!!! lo di rumah nggak sih?! bukannya ada praktek, ya?!"
mungkin miller lupa kalau rumah gedongan milik jaya punya teknologi yang namanya bel, jadilah ia menggedor lagi pintu berkayu jati itu.
"duh! dasar dokter budeg!!"
kriet
"itu loh ada bel, si pintar."
jaya membuka pintu dan menyambut miller dengan kata-kata mutiara seperti tadi. ia mempersilakan niel yang menggendong diajeng lebih dulu untuk masuk ke ruang praktiknya, sedangkan miller seperti terserang mental setelah menyadari memang ada bel di rumah ini.
"gue panik ngelihat adek gue gitu," kilah miller singkat. jaya merangkul temannya itu untuk ikut ke ruang praktik di mana ada diajeng yang sudah dibaringkan ke atas brankar oleh niel.
miller dan niel duduk di sofa dengan harap-harap cemas, salah satunya mencuri pandang pada seseorang yang berbaring di matras tersebut. siapa lagi kalau bukan niel. jujur saja ia tidak tega melihat wajah pucat dari diajeng.
jaya segera mengobati luka tangan diajeng dengan sangat telaten dan detail. "tenang ya, ajeng. ini lukanya nggak begitu dalem kok."
"ka-kata kak niel lukanya dalem?" diajeng langsung melirik ke arah niel meminta penjelasan. "kakak bohong ya?"
merasa terintimidasi, niel menggeleng tegas. "nggak gitu, ajeng."
"mil, adek lo fobia darah?"
miller mengangguk. "kok lo tau?"
"ini tensinya rendah banget, kalau cuma kehilangan darah karena luka nggak sampe gini. adek lo kena syok."
"aku tadi ngerasa kayak mau pingsan kak," ujar diajeng dengan tatapan melemah. "aku juga mual banget setelah lihat darah, langsung pusing."
jaya melepaskan tensimeter dari lengan diajeng dan tersenyum simpul. "ya udah, kamu istirahat sebentar di sini. tenang aja, kakak bakal kasih resep obat buat kamu. kalau mau bangun pelan-pelan jangan langsung duduk, nanti makin pusing."
tanpa diperintah, niel berdiri menghampiri diajeng dan membantunya untuk duduk perlahan. diajeng menelan salivanya, ia mendapat perhatian dari niel? sungguh? rasanya ia mau terbang ke angkasa sambil menari tarian saman. hiya, bercanda.
"makasih, kak."
"hmm, your welcome, jeng."
jaya menarik lengan miller ke meja kerjanya. "adek lo lagi kasmaran noh."
miller tertawa kecil, ia melirik niel dan diajeng dari tempatnya berdiri. "lo perlu tau, tadi si niel emut telunjuk tangan ajeng yang luka dong, dia kira jari tangan adek gue permen kaki apa yak?"
"serius lo? wah niel, di grup aja nolak tegas, eh taunya ...."
miller mengangguk-angguk setuju, ia melihat lagi keduanya dengan saksama. diajeng turun dari brankar dibantu niel, hampir saja kembali limbung namun dengan sigap niel menahan tubuh diajeng. "anjring, sweet banget. ya tuhan adek gue dah dapet gandengan."
"oh iya, soal fobia adek lo, mil," sela jaya memelankan suaranya, miller mengalihkan pandangan dan fokus pada pembicaraannya sekarang.
"iya, kenapa?"
"adek lo pernah kecelakaan?"
"kenapa asumsi lo begitu?"
"hematofobia atau fobia darah biasanya diakibatkan oleh kecelakaan yang menghabiskan banyak darah, atau dirinya sendiri trauma dengan hal-hal yang berhubungan dengan darah. adek lo gitu?"
miller menunduk, wajahnya seketika murung. ia bahkan mengingat jelas peristiwa itu, peristiwa yang membuat hatinya juga hati diajeng hancur lebur. tentang kedua orang tuanya yang pergi dengan cara tragis, terlebih kejadian itu dilihat oleh diajeng di depan mata. diajeng; trauma soal itu.
mengerti keadaan, jaya menepuk-nepuk pundak miller dan menenangkan. ia tak jadi melanjutkan pertanyaannya kala satu bulir air mata menetes dari netra miller. memang, mengingat kenangan pahit membuat hatinya kembali teriris, terlebih saat itu miller malah menjauh dari kedua orang tuanya.
≣≣≣
aku nggak tau ini lowercase model apa huhu
tapi semoga kalian tetap suka ya. kalau
nemuin cerita lowercase yang uwu-uwuan,
jujur aku gabisa bikin di sini. karena ini juga
ceritanya entahlah, gado-gado banget (cryyy)selamat nunggu teasernya masyun besok wkwkwk
pengen bgt hujan uang ya allah :([msf, 13 juli 2021]
[lowercase; asikin aja!]
KAMU SEDANG MEMBACA
asikin aja! [discontinued]
Random[discontinued] - humor; trash talkin' cuma cerita ringan 8 cowok holkay yang pandai gosipin hal-hal sepele layaknya ibu-ibu yang lagi kumpul di akang sayur keliling. kadang rumpi secara langsung, kadang rumpi di grup chat. starring: ●fenly (miller)...