| 23 September 2018 |
"Kau tidak seharusnya seperti ini!" Uzumaki Kushina menggeram, melemparkan buku hukum setebal enam ratus halaman di meja, dan menyilangkan tangan di depan dada.
"Aku hanya sedikit terlambat." Namikaze Naruto membela diri, menggenggam tangan wanitanya erat-erat.
"Apa yang harus Ibu lakukan padamu?" Kushina menghela napas. "Pernikahan tidak mungkin dibatalkan begitu saja."
Hinata tersentak tidak percaya, sementara kedua tangannya keringat dingin.
"Ibu tidak menyukai tindakan tidak bertanggung jawab." Ujar Kushina, menatap wajah Hyuuga Hinata dan kandungannya secara bergantian. "Harusnya, dibicarakan. Bukan begitu?" dia bertanya melalui tatapan, jelas pada Hinata, tetapi pandangannya beralih pada anaknya sendiri.
Lidah Naruto terasa kelu, ketika menyadari kalimat terselubung sang ibunda. Namun, mulutnya kembali dibungkam ketika ibunya itu kembali melanjutkan, "Menikah hari ini atau tidak sama sekali!"
Itulah tepatnya apa yang terjadi enam jam lalu.
Naruto selalu berpikir bahwa ibunya itu adalah pendiktator nomor satu. Dia sudah sering merasakan serangan jantung mendadak akibat kalimatnya yang mendadak dan terkesan sulit dilakukan. Namun, dia tidak bisa menampik bahwa garis darah memanglah kental. Ibunya mampu mengenali keinginan terdalamnya, tanpa kata.
Kali pertama ibunya itu melihat Hyuuga Hinata secara langsung, membuat dia tidak bisa berkata-kata. Pasalnya, heiress Hyuuga sangat dikenal di antara kalangan konglomerat sebagai—wanita nomor satu yang tidak ingin dijadikan istri. Hinata adalah titan yang berdiri tegak, memegang roda kendali hanya dengan satu jentikan jari. Kecerdasannya yang di luar rata-rata, mampu mengusung jaringan Hyuuga ke pasar dunia hanya dalam kurun waktu dua tahun. Rumor mengatakan, Hinata bahkan memaksa Hyuuga Hiashi untuk pensiun dini.
Uzumaki Kushina terkejut hingga ke tingkat ekstrem, bahwa putranya sanggup membawa pulang sang titan—terlebih—membawa sekaligus penerus Namikaze.
Naruto lega ketika ibunya itu memberi restu. Namun, yang tidak dia habis pikir adalah, bagaimana ibunya membawa Hinata pergi setelah itu. Memintanya datang di acara pernikahan sesuai yang dijadwalkan.
Tentu, dia sangat bahagia. Masalahnya adalah, dia tidak ingin memamerkan Hinata-nya pada khalayak saat ini juga. Dia seorang pria, dan dia lebih dari tahu akan jadi secantik apa wanitanya itu dengan balutan gaun putih mengembang.
Lagi pula, sejauh ini, dia belum menunjukkan cinta nyata pada wanita itu. Agaknya, sangat tidak tepat jika langsung menikah tanpa melalui proses sebelumnya.
Seminggu terakhir, dia sia-siakan dengan membagi hatinya untuk wanita lain. Hanya menjadikan Hinata tempat singgah, mengambil kenyamanan tanpa memberikan sebanyak yang wanita itu berikan. Jika dia menghitungnya, dia bahkan hanya mencium wanita itu sekali—di mana, malam itu—tidak masuk hitungan.
Naruto mendesah tidak percaya. Dia perlu meluruskan ini sebelum berdiri di pelaminan dengan muka canggung.
.
Sabaku Grand Hotel
"Kita harus bicara," Naruto menarik tangan Hinata ketika wanita itu keluar ruang ganti, memojokkannya di jendela, di balik tirai putih yang berkibar karena sentuhannya. Sinar matahari yang menerobos masuk, membiaskan cahaya pada wajah wanitanya, menyiramkan kehangatan yang menggetarkan jiwa.
Wajah Hinata berpaling, menyembunyikan jejak kemerahan yang tercetak di pipi putihnya.
"Kita melewati beberapa proses, padahal aku ingin kau menikmati semua apa adanya." Naruto berkata, meraih wajah Hinata hanya untuk melihat mata yang bergetar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rough
FanfictionWanita itu gila. Setelah aksi heroiknya lima tahun lalu, kini dia datang tanpa dosa. Merangsek masuk pada kehidupan pria itu hanya demi sebuah keegoisan berlandas ketamakan. Demi Tuhan, Hinata?! Kau perlu ke rumah sakit jiwa?!