Epilog

2.3K 208 14
                                    

| 2 Oktober 2018 |

Pagi ini, tepat pukul sepuluh, rapat bulanan anggota Dewan Direksi Namikaze Corp akan diadakan. Namun masalahnya adalah bahwa sang pimpinan tertinggi baru saja pulang bulan madu tadi pukul lima.

Naruto terhuyung-huyung di depan pintu apartemen. Di tengah indahnya bulan madu, sialnya dia harus terserang demam selama tiga hari terakhir. Dan ketika kembali, Shikamaru mengajukan cuti dadakan. Tidak ada perwakilan yang artinya, dia harus memaksa tubuhnya bergerak menemui para orang tua berdasi itu.

Dia limbung, dan tubuhnya hampir menyentuh lantai kalau tidak sebuah tangan lembut menahan lengannya.

"Satu detik, dan tubuhmu akan mencium indahnya lantai. Bagus sekali." suara Hinata terdengar dingin, tetapi jelas tersirat nada khawatir. Wanita hamil delapan bulan lebih itu lantas memapah Naruto. Menyeret sang suami untuk kembali ke apartemen.

Naruto tahu bahwa istrinya itu sangat perhatian, tetapi dia tidak tahu bahwa Hinata bisa bersikap sangat berlebihan.

Hinata mengambil banyak selimut, menyelimutinya berlapis-lapis. Mengambil kompres, mengecek suhu dengan gerakan sangat cepat.

Satu kedipan mata Naruto, dan perempuan itu pun berujar. "Dokter akan datang sepuluh menit lagi. Tidur, dan tunggu saja. Aku akan keluar sebentar membeli sesuatu."

"...rapatnya?" suara Naruto terdengar serak. Pria itu berusaha bergerak yang hasilnya gagal. Kepalanya berdenyut-denyut.

.

"...jadi, kapan Namikaze-san akan datang?" tanya seorang anggota dewan. Sebelumnya, Naruto tidak pernah lalai atau sampai terlambat. Predikat pria itu di kacah para pengusaha sangat baik, kecuali satu hal; istrinya.

Publik tentu mengetahui kedekatan Naruto dan Shion, termasuk rencana pernikahan mereka. Yang tidak publik tahu adalah, bagaimana Namikaze Naruto mengganti calon mempelainya di hari pernikahan. Meski tidak ada berita yang berkicau, bukan berarti desisan dari mulut ke mulut bisa mereda. Terlebih, yang menggemparkan, mempelai yang kini sudah sah menjadi menantu Namikaze itu adalah seorang Hyuuga.

Baru saja para orang tua berdasi itu hendak berkicau, pintu ruang pertemuan berwarna hitam itu terbuka.

"Maaf atas keterlambatan saya." Seorang wanita masuk ruangan, menginterupsi puluhan orang di sana. Wanita itu mengenakan gaun ibu hamil berwarna putih gading selutut, dengan sebuah jas hitam. Rambutnya diikat satu secara asal, tetapi terlihat elegan dengan anak rambut yang sengaja ditata berantakan.

Namikaze Hinata. Jelas, semua orang mengetahui wanita itu hanya dengan sekali tatap. Wajahnya yang masih secantik gadis berusia belasan, memang patut diacungi jempol. Menurut rumor, selama masa kehamilan, sikapnya menjadi lebih baik. Lebih seperti wanita pada umumnya.

Itulah harusnya apa yang terjadi. Namun, melihat bahan yang dia curi dari tas kerja Naruto, tak lantas membuat Hinata senang. Wanita itu meletakkan dokumen yang menimbulkan suara hingga ke sudut. Bukan dibanting, melainkan karena suasana yang mendadak hening.

Rapat berakhir lebih cepat, mengusung hasil dua kali lipat dari yang seharusnya.

.

"Sudah bangun?" Hinata mengusap wajah Naruto yang berada di pangkuannya. Menyisir rambut pirang lembut dengan jari-jarinya yang ramping.

"Jam berapa ini?" Naruto mengambil alih tangan Hinata untuk dia genggam, kemudian mengecupnya.

"Pukul enam sore," yang membuat pria itu melotot. Hinata perlu menekan kembali dahi pria itu untuk kembali ditidurkan. "Terlambat. Rapat sudah selesai tujuh setengah jam lalu." Hinata berkata.

"Mereka akan berkicau di depan Ayah setelah ini," keluh Naruto.

"Siapa bilang?"

"Huh?"

Hinata tersenyum. "Tidak akan ada yang berkicau. Musim dingin bukan waktunya burung bertengger hanya untuk mengusili tetangga. Bukan begitu?"

Alis Naruto terangkat sebelah. "Apa yang telah kau lakukan?"

"Memangnya apa? Aku tidak melakukan hal ekstrem, jadi tenang saja. Okey?" Hinata membuat simbol dengan ibu jari dan jari telunjuk, membentuk huruf O.

Naruto semakin tidak percaya. Pria itu mendengus. Jelas bisa menebak apa yang sudah wanita itu lakukan. "Mereka pasti mengalami mimpi buruk."

"—dengan seorang Hime?"

Naruto tertawa. Kemudian mencolek hidung Hinata gemas. "Siapa yang menyebut diri sendiri dengan sebutan seperti itu?"

"Aku."

"Siapa yang mengajarimu?"

"Kau."

Dan, keduanya pun tertawa. Melebarkan senyuman hingga garis mata mereka melengkung. Memenuhi ruangan bernuansa biru itu dengan cinta yang nyata.

Mereka yang dicinta, adalah mereka yang bersedia memikul beban bersama tanpa diminta. Menawarkan sandaran meski sama-sama terpuruk. Tersenyum bersama entah bagaimanapun keadaannya. Cinta nyata adalah sebuah terjemaah harfiah dari sikap saling peduli yang melibatkan lapisan perasaan dan gelombang pikiran. Menyingkirkan ego demi meraup kebahagiaan.

"Because ... the extraordinare trade their egoistic heads with love, for love."


Tamat

RoughTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang