"Jadi, kau sudah membohongiku?" Gaara terbelalak, tidak percaya. Menggerakkan satu langkah mundur, siaga. Takut kalau-kalau wanita Hyuuga yang resmi berubah marga Namikaze itu menghajarnya.
Naruto tersenyum misterius. "Jika dia tidak memukulmu, maka aku yang akan melakukannya."
Pria Sabaku itu tidak terima. "Kalau aku tidak melakukan gebrakan padamu, tidak mungkin kau mengejarnya, heh."
"Aku menyimpannya untuk beberapa bulan ke depan. Jangan salah paham." Hinata menyela. "Dan jangan khawatir, pria di sampingku ini yang akan bertanggung jawab atas biaya setelahnya." Garis bibirnya semakin naik, tersenyum yang—Naruto tahu—mengandung berbagai artian.
"Kau tidak akan melakukan apa pun, Hinata ...." suara Hyuuga Neji terdengar. Langkah kakinya mendekat, muncul di antara kerumunan hadirin. Di belakangnya, Shikamaru memalingkan wajah, menyembunyikan memar kebiruan yang tercetak di pipi kirinya.
Tiga orang di sana mengernyit. "Kakak Ipar, apa yang baru saja kau lakukan?" Naruto bertanya, merasakan satu firasat buruk.
"Hanya sedikit pemanasan, karena udara mulai dingin." Neji tersenyum, hampir serupa dengan apa yang Hinata lakukan.
Naruto bisa merasakan sarafnya menggelitik di bagian punggung. Satu hal pelajaran yang dia sadari adalah; bahwa para Hyuuga bukanlah seseorang yang bisa kau ajak bermain-main. Karena batasan permainan mereka melebihi kemampuan orang pada umumnya.
Jika Hinata adalah Titan, maka Neji menempati koloni tertingginya.
"...dan, karena udara mulai dingin, setelah pernikahan, Hinata akan tinggal denganku di Okinawa." ujar Neji.
Naruto kehilangan kata-kata. "Kakak Ipar, kau ... kau baru saja mengatakan apa?"
"Apa? tentu bersama denganmu. Aku sudah menyiapkan tempat untuk kalian." Neji meralat kalimatnya. Jelas, sengaja. Dan Gaara pun tertawa-tawa.
"Menekan media, membungkam massa. Aku perlu berterima kasih banyak pada Adik Iparku yang tercinta. Bukan begitu?" Neji menarik pundak Naruto, menepuknya pelan.
"Maaf menginterupsi." Seorang pria menyela, membungkuk dengan gestur sangat santun.
"Toneri?!" Hinata memekik. Lantas berhambur ke pelukan pria itu tanpa malu-malu. Membuat pria bermarga Otsutsuki itu terhuyung ke belakang. "Perhatikan pijakanmu, kau bisa terjatuh."
"Itu tidak akan terjadi. Kau takut nyawamu melayang kalau menjatuhkanku. Aku tahu." wanita itu mengambil jarak, tersenyum. Sungguh tidak mengindahkan tatapan menusuk sang suami di belakang.
"Aku sedang ada keperluan dengan suamimu. Kita bisa bicara lain kali." Toneri permisi, meninggalkan Hinata dengan cara sangat lembut.
Naruto mengernyit. "Apa ini?" saat melihat sebuah buku harian bergambar bunga matahari di tangannya.
"Hadiah pernikahan." Toneri tersenyum simpul, mengedik sedikit ke belakang, ke arah Hinata. "Halaman terakhirnya, bacalah!" bisiknya di telinga sebelum pergi meninggalkan kerumunan.
Naruto membaca inisial di pojok kanan bawah, yang lantas dia sadari. Pria itu tidak membutuhkan waktu lama untuk menemukan sebuah puisi yang memang ditujukan padanya, dari sang istri tercinta; Namikaze Hinata.
I see a whole universe in your eyes
Blue sky, rainbow and shining stars
So my heart keep wonders
Why God makes you always blinding bright?
You are a picture of perfections
Between my imperfections
A flashlight, in my dark hideout
A polaris, that gives me the way out
That's why I shut my mouth in the utter silence
Standing here, looking at you from the distance
I know it doesn't make sense
Because Baby, this unconfessed feeling makes me insane
Gladly, I run into the center of your blackhole,
Drowning, happily, with your overwhelming shadow
My Dearest,
This is my heart
My abandoned heart
Waiting you to be here,
To fill this empty space, and shed my tears
I love you grandly
You bring all of me
Back from the past gradly
To start over again
All the things I left behind
...
KAMU SEDANG MEMBACA
Rough
FanfictionWanita itu gila. Setelah aksi heroiknya lima tahun lalu, kini dia datang tanpa dosa. Merangsek masuk pada kehidupan pria itu hanya demi sebuah keegoisan berlandas ketamakan. Demi Tuhan, Hinata?! Kau perlu ke rumah sakit jiwa?!