BAB 0: Tiga Bimasena

53 14 10
                                    

Aku Nadir, alias yang paling waras diantara kedua abangku, iya! Gimana nggak? Lihat saja sekarang, bagaimana mas Dhika dan Abang mulai menghancurkan dapur hanya karena perkara menggoreng telor ceplok dan memasak Mi instan.

Kalau bunda sampai tahu, yakin sekali reaksi bunda nggak akan jauh beda dengan ku.

"Abang ya Allah Abang.. ini kan panci, masa di pake buat goreng telor?" Ucapku pada Abang sembari mengelus dada, Tjandra Adinan Bimasena namanya. Abang teraneh dan terkeren di waktu yang bersamaan, tapi jujur lebih banyak aneh nya sih, seperti sekarang ini.

"Menurut teori Abang ya Dir, pake panci itu bisa mengurangi presentase luka-luka karena cipratan minyak!"  Ya ampun.

"NGGA ABANGG! NGGA SALAH LAGI!" Mas Dhika menyahut mendukung Abang, satu aliansi katanya.

Aku menggeleng, sementara Abang sibuk membolak-balikan telur mata sapi yang sayangnya sudah tak berbentuk itu dengan penuh bangga.

Bukan hanya Dinan yang bergelar Abang dirumah penuh sejarah ini, ada Dhika Hardinata Bimasena yang menjadi sulung. Mas Dhika itu nggak jauh beda dengan Abang, cuma kalau tengilnya jelas beberapa tingkat diatas Abang.

"Jangan gue, jangan gue, jangan gue..." Ia memejamkan matanya sembari merapalkan kalimat 'jangan gue', maksudnya apa? Apa aku ini tak jauh berbeda dari guru killer di sekolah-sekolah bagi mas Dhika? Cih!

Aku menepuk pundaknya. "Mampus!" Katanya.

"Kenapa mas?" Tanyaku.

"Ah gapapa, mau di masakin Mi ga Dir? Mau rasa apa? Soto ada.. Kari ada, Mi Goreng ada, rasa rendang juga ada. Mau yang mana?" Aku tahu itu hanya pengalihan atas perbuatannya yang bagiku sangat aneh itu.

"Ngga mas makasih, cuma ini kenapa..." Aku menatap tiga panci berjajar mengantri untuk mendapat gilirannya diatas kompor.

Mas Dhika ini badan doang besar masak Mi instan sudah seperti ingin perang?

"Masing-masing punya fungsi nya Dir, jangan salah.." ucapnya layaknya juru masak besar. "Yang ini buat rebus Mi nya, yang ini buat kuah nya, yang ini buat rebus telur." Ucapnya sembari menunjuk satu persatu panci itu.

Aku menghela pasrah. Ya sudahlah.

"Nanti kalau semuanya udah selesai, biar gue aja yang cuci, biar panci ibu aman sentosa." Ucapku.

"Siap paduka Nadir!" Jawab Mas Dhika dan Abang bersamaan, mereka ini kenapa sih?


🌧️🌧️🌧️

Assalamualaikum, selamat datang di universe Untuk Nadir.

Cerita ini mengangkat tentang kokohnya bangunan bernama keluarga, hangatnya rengkuhan seorang teman, dan manis pahitnya cinta para bani adam.

Aku harap kalian bukan hanya singgah namun juga menjadi rumah.

Dengan menyebut nama Allah, dengan ini cerita Untuk Nadir di mulai.

Untuk NadirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang