BAB 1: Evaluasi

34 9 3
                                    

(song recommended)
Hindia-Evaluasi

happy reading (つ≧▽≦)つ

☁️☁️☁️

Nadir

4 bulan menuju kelulusan, ya, sudah terbayangkan bagaimana serius nya anak SMA di tahun terakhirnya, ngga perlu jauh-jauh, misalnya aku. Dari jauh hari mas Dhika dan Abang sudah mewanti-wanti ku untuk pelan-pelan saja, asal aku ngga lupa untuk berdoa dan melakukan semampu yang ku-bisa untuk hari ini dan nanti, itu sudah cukup.

Kalau nanti nya UI bukan tempat pulang dari mimpi dan harap yang aku berusaha gapai, gapapa, karena sebab selalu ada makna di setiap hal yang ada kata bunda. Tuhan maha tahu perihal yang terbaik untuk hamba nya.

Tapi, selalu ada satu hal yang mengganjal hati, membuatku selalu ragu untuk mengambil langkah kedepannya, langkah hidup ku. Rencana dan cita-cita yang ku bangun untuk diri sendiri dan hidup ku semuanya mulai abu-abu karena sebab, izinnya bunda belum aman ada bersama ku.

Sebetulnya, soal-soal SBMPTN yang katanya sungguh rumit itu belum seberapa akan izinnya bunda yang belum ku dapatkan hingga hari ini.

Aku menghela napas panjang di dalam ruang penuh hening ini. Setidaknya, kalau diakhir nanti pilihan ku tetap sama, aku berhak untuk bilang sama bunda kalau Nadir sudah coba, Nadir sudah coba untuk menerima apa yang bunda pilihkan. Menjadi tentara kebanggan ayah dan bunda, Nadir sudah mencoba untuk mewujudkan itu.

"Dir, liat si Abang ngga?" Aku menoleh ke arah pintu kamarku yang tertutup setengah, disana terdapat Mas Dhika dengan perawakan rapihnya, kaos berkerah berwarna putih dengan logo kuda pollo di belakangnya, celana jeans cokelat gelap, dan sepatu kets berwarna cokelat muda yang selalu ia kenakam di momen-momen tertentu, tapi ntah kali ini, ingin main atau sibuk dengan dunia kampusnya.

"Kerkel di rumah bang Johan mas, barusan aja berangkat." Dia tampak misuh mendengar jawabanku.

"Minta di tabok! Minjem motor orang ngga bilang-bilang."

Keningku menyatu dengan kebingungan mendapati jawaban mas Dhika yang kesal itu, padahal garasi rumah hampir semuanya diisi motor mas Dhika, diantara kita bertiga mas Dhika itu sudah seperti onderdil motor. Nggak banyak banget juga sebetulnya, tapi mampu menguasai garasi rumah yang bagiku "kurang besar" untuk menampung motor kami bertiga.

"Motor mas Dhika kan ada tiga?"

"Yang di pake Abang itu satu-satunya yang ngga bunda sita, Dir."

Oh, aku baru ingat itu.

"Yah gampang itu mah, pake motor gue aja. Ga ada janji juga hari ini, tapi uang bensin jangan lupa" mendengar itu mas Dhika tersenyum sumringah.

"Siap deh! Mau di beliin apa pas gue pulang?"

Aku menggeleng, bingung ingin apa. Lalu aku tersadar, yang paling aku inginkan adalah melihat mas Dhika pulang dengan selamat. Sebab, alasan utama bunda menyita motor mas Dhika itu karena insiden seminggu lalu, ketika Mas Dhika dan teman-teman nya melakukan perjalanan bersama, lalu rumah di kabarkan bahwa Mas Dhika mengalami kecelakaan yang membuat kami luntang-lantung menuju rumah sakit, beruntung luka yang Mas Dhika alami tidak parah.

Untuk NadirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang