1

44.1K 2.2K 191
                                    

“Ga usah. Aku bisa pergi sendiri.”

Gracia menjawab ketus tawaran sang mama yang berniat untuk mengantar dan menemaninya pergi. Tanpa merasa perlu berpamitan terhadap wanita paruh baya yang berdiri di belakang punggungnya, ia melenggang keluar rumah, menutup pintu dan tidak menoleh sedikit pun. Gracia menengadah sebentar di depan pagar sebelum melanjutkan langkah ke halte bus di depan komplek, menatap langit sore yang bersih tanpa awan. Helaan nafasnya terdengar sedikit berat ketika ia melangkah kembali dengan kepala membenak tentang apa yang harus dilakukan dan dikatakan nanti. Sejak minggu lalu Gracia sudah memikirkan hal ini, dan merasa cemas tentang banyak hal. Bahkan jika boleh jujur ia berharap hari ini tidak pernah datang, atau jika bisa tidak perlu ada hari Jumat dalam deretan hari minggu ini, dan tentu itu tidak mungkin.

Bersamaan dengan langkahnya yang tiba di halte, bus tujuannya juga tiba. Dengan sedikit malas ia naik ke dalam bus yang masih kosong, menempelkan kartu bus lalu menuju kursi paling belakang, duduk dengan rasa cemas yang mulai memenuhi seluruh tubuh. Berapa kali ia menarik nafas dalam-dalam, menghembuskan perlahan, berharap cemas hilang, berganti tenang dan menjadi teman selama perjalanan.

Jumat kali ini berbeda dengan hari Jumat biasa, setidaknya bagi Gracia. Ini kali pertama ia akan mengikuti support group therapy untuk para pasien penderita PTSD (Post Traumatic Stress Disorder) seperti dirinya. Terapi ini rutin diadakan dua kali dalam satu bulan oleh rumah sakit tempat Gracia melakukan konsultasi. Sejak dua minggu lalu pun Gracia sudah disarankan untuk mengikuti terapi ini oleh dokter Feni—dokter psikitiaternya, namun Gracia selalu menolak. Ia merasa bahwa cerita dengan banyak orang asing dan berbagi kisah adalah hal yang tidak perlu dilakukan. Buat apapula mendengar luka dan penderitaan orang lain jika diri sendiri penuh luka dan merasa menderita. Hingga minggu lalu, dokter Feni berhasil memberikan jawaban—jawaban pertama dan terakhirnya atas penolakan Gracia-- yang akhirnya membuat Gracia sekarang berdiri didepan gedung rumah sakit padahal bukan jadwal konsulnya.

“Kadang bertukar cerita dengan orang-orang yang kita rasa satu penderitaan dan satu
nasib bisa ngeringanin beban yang kita rasa.”
-----
Sudah lima belas menit Gracia duduk seorang diri di taman rumah sakit yang disebutkan dokter Feni minggu lalu sebagai lokasi untuk mengadakan group therapy. Gracia mengedarkan pandangan, celingak celinguk ke segala arah dan memperhatikan sekeliling. Dari kejauhan seseorang melangkah ke arahnya. Untuk sesaat Gracia meletakkan fokus pada orang tersebut, memperhatikan dengan seksama perempuan tinggi dengan rambut lurus berwarna hitam legam dengan model segi belah tengah. Kulit perempuan itu putih, bahkan sangat putih saat dilihat dari dekat. Wajahnya dibingkai dengan dua alis yang tebal, hidungnya mancung dengan sempurna. Tidak hanya itu, ia juga wangi. Gracia bisa mencium aroma bunga rose saat perempuan itu mengambil tempat disebelahnya.

Gracia buru-buru mengalihkan pandangan, takut dikira tidak sopan karena menatap lekat. Ia yakin perempuan ini bukan salah satu pasien PTSD yang akan menjalani group therapy seperti dirinya walau perempuan tersebut duduk tepat disebelah. Ini adalah taman, jadi bisa saja ia duduk disini untuk mencari udara segar, atau menatap langit sore.

“Halo,”

Gracia menoleh ke kanan kiri, mencari orang lain disekitar mereka, tidak yakin sapaan itu ditujukan untuk dirinya. Namun tidak ada siapa-siapa disana selain ia dan perempuan yang kini tersenyum manis kearahnya itu.

“Nyari siapa? Ga bakal ada orang lain disini,” sambung perempuan itu lagi.

Ucapan itu membuat dua alis Gracia menyatu, “Maksudnya?” Bagaimana mungkin tidak akan ada orang lain disini jika dokter Feni mengatakan group therapy akan diadakan di taman ini.

ELEGI SANDYAKALA (By PERDANA X ERDAM)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang