“Ma, hape aku mana deh?” tanya Gracia begitu tiba di rumah dan langsung menjatuhkan tubuh di sofa hitam, di ruang televisi yang terhubung langsung dengan ruang makan. Akhirnya dia diperbolehkan pulang setelah sangat lama berada di rumah Sakit. Perasaannya lega karena tidak lagi harus mencium bau rumah sakit dan menatap ruang kamar inap, dua hal yang benar-benar memuakkan baginya.
Mama ikut duduk di sebelah Gracia, sementara Feni mengambil tempat di sisi satu lagi. Tiga orang laki-laki di rumah itu—Papa, Aten, dan Ecen, sibuk mengurus koper dan memasukkannya ke dalam kamar sang pemilik, termasuk milik Feni.
“Kamu mau ngapain?” tanya Mama menyerahkan ponsel Gracia.
Gracia menerima ponsel yang baru dia sentuh lagi semenjak kecelakaan, menghidupkan layarnya lalu membuka fitur panggilan terakhir, “Nelepon Ci Shani, mau ngabarin aku udah sampe.”
Untuk sesaat dunia serasa berhenti berputar bagi Mama, Feni, Papa, Aten, dan Ecen. Bahkan tiga laki-laki itu sampai meletakkan kembali koper yang mereka angkat dan berhenti meniti tangga karena mendengar ucapan Gracia.
“Ben…” Feni memegang lengan Gracia.
Gracia menoleh, ponselnya dia tempelkan ke telinga. Tanpa mengeluarkan suara dia bertanya maksud Feni memanggilnya.
Feni tidak menjawab, dia hanya menatap. Sayup-sayup semua orang bisa mendengar panggilan masuk dari Gracia yang tersambung ke voice mail Shani.
“Oh iya, udah ga ada,” gumam Gracia, ntah tersadar sendiri, atau karena panggilannya langsung terhubung voice mail.
Semua orang menatap Gracia masih dalam keheningan. Memperhatikan Gracia yang menatap ponsel dengan layar yang sudah gelap. Keluarganya tahu, sudah menjadi kebiasaan Gracia untuk memberi Shani kabar jika dia pulang tanpa Shani bersamanya.
“Jangan pada diem gitu dong, aku gapapa tau,” Gracia menatap ke Mama, dan Feni, lalu menoleh ke arah tangga sambil tertawa pelan karena melihat Papa serta dua adiknya diam di tempat, “beneran aku gapapa, lanjutin aja naikin kopernya.”
Tiga laki-laki itu saling melempar pandang, kemudian melanjutkan kerjaan mereka yang terjeda. Mereka benar-benar tidak tau harus mengucapkan apa dan menanggapai bagaimana.
“Its ok, nanti bakal terbiasa kok,” Mama menepuk pelan paha Gracia.
Gracia mengangguk, kembali menatap ponsel yang layarnya dia nyalakan. Senyum samar langsung hadir di wajahnya karena melihat wallpaper yang tertera. Itu adalah potret dirinya, tengah dipeluk Shani saat sedang rebahan di atas bean bag, di apartemen Shani. Dia selalu suka foto yang diambil oleh Mama Shani ini, karena ntah mengapa dia merasa amat disayang.
Layar ponsel Gracia kembali gelap. Sang pemilik menarik nafas. Benaknya memikirkan ulang ucapan Mama barusan. Ntah kapan dia akan terbiasa dengan keadaan tanpa Shani, namun dia berharap ucapan Mama menjadi kenyataan.
“Ben, naik yuk, pengen tidur,” ajak Gracia, berdiri dari duduknya.
“Yuk,” Feni ikut berdiri.
“Yaudah kalian istirahat sana, nanti kalo udah mau makan malam, Mama panggil.”
“Tante jangan lupa istirahat juga ya,” pesan Feni sebelum mengekor di belakang Gracia yang sudah berjalan lebih dulu.
Mama mengangguk, “Makasih ya, Fen,” ucapnya dengan senyum lembut.
Sepeninggalan Gracia dan Feni, Papa, Aten dan Acen bergabung bersama Mama di sofa. Tidak ada yang memulai pembicaraan. Mata mereka menatap pada satu arah yang sama, punggung Gracia yang tampak begitu rapuh.
-----
Gracia menarik nafas sebentar di depan pintu kamar, menyiapkan diri sebelum mengayunkan kenop pintu, “bisa,” gumamnya pelan kepada diri sendiri sambil mengayun kenop, mendorong pintu ke arah dalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
ELEGI SANDYAKALA (By PERDANA X ERDAM)
Fanfiction"Kamu gak usah sok tau deh, yang tau perasaan aku ya aku." "Yaudah kalau gitu coba kamu kasih tau aku kenapa kamu ga bahagia, apa yang hilang dari diri kamu." "Udah aku bilang aku ga tau! pokoknya yang aku tau aku ga bahagia." "Gre, kamu aneh." ...