Peluh membasahi seluruh tubuh, nafas memburu cepat, jantung berdegup amat kencang. Sekali lagi Gracia terbangun karena mimpi buruk. Tiap ia jatuh tertidur, ia sering bermimpi buruk. Isi mimpinya selalu sama. Tidak pernah berubah, dan tidak pernah jelas. Selalu hanya berisi bayangan tentang mobil yang mengalami kecelakaan. Tidak lebih dari itu, tapi rasa sakitnya luar biasa. “Cape banget,” ucap Gracia lirih ntah kepada siapa karena tidak ada siapa-siapa di dalam kamarnya selain dirinya sendiri.
Gracia menekuk lutut hingga dada, memeluknya lalu membenamkan wajah diatasnya. “Cape banget,” ucapnya sekali lagi dengan suara yang lebih lirih, dan air mata yang mengalir dari sudut mata. Perlahan, potongan mimpi buruk tadi hadir dalam benaknya, berterbangan sana sini, memenuhi seluruh bagian di dalam kepala. Ia kira penderitaannya akan berhenti cukup sampai menyaksikan ulang potongan mimpi buruk itu, karena seperti itu siklusnya jika ia mimpi buruk. Terbangun dan kembali menyaksikan ulang di dalam benak dalam keadaan sadar.
Ternyata, malam ini berbeda.
Suara-suara benturan, suara teriakan-teriakan yang tidak ia kenali sama sekali siapa pemiliknya, hadir bersamaan dengan potongan mimpi buruk tersebut. Membuat potongan mimpi buruk itu berubah menjadi seperti sebuah film yang mengerikan.
Gracia terisak dalam diam. Punggungnya bergetar hebat. Belum juga ia bisa mengingat dengan jelas hari dimana ia mengalami kecelakaan, kini ia sudah dihadapkan dengan suara-suara asing yang ia yakin berasal dari hari kecelakaannya itu.
Ditengah heningnya pukul tiga malam, tembok kamar Gracia kembali menjadi saksi bisu penderitaan yang dialami sang pemilik.
-----
Matahari bersinar dengan terik. Gracia duduk dipinggir jendela kamarnya yang berada di lantai dua, menatap jalanan didepan rumah yang sepi, lalu menatap langit biru yang dihiasi awan putih. Pandangannya menatap jauh kedepan, ke hari pertama ia mulai dibawa oleh kedua orangtuanya untuk bertemu dokter Feni. Ia lupa bagaimana tepatnya, yang jelas ia langsung setuju untuk mengikuti saran tersebut karena lelah terus-terusan mengalami mimpi buruk, yang berujung mengganggu kualitas tidur. Sampai hari ini mimpi itu masih tetap hadir, namun bukan berarti sesi konseling bersama dokter Feni gagal atau tidak memberikan dampak apa-apa. Gracia malah menganggap sesi konselingnya dengan dokter Feni adalah salah satu hal yang bisa membuatnya bertahan sejauh ini.Tok tok
Gracia terkesiap. Terkejut mendengar suara ketukan dari pintu kamar, “Masuk aja,” ucapnya mempersilahkan walau tidak tau siapa yang mengetuk.
“Kamu ngapain?” Kepala sang Mama langsung menyembul dari balik pintu.
Gracia tersenyum menatap Mamanya yang melangkah menghampiri, “Ga ngapa-ngapain, kok Mama udah di rumah jam segini? Kapan nyampenya?”
“Baru aja, emang kamu ga liat mobil Mama masuk?”
Gracia langsung menoleh ke jendela, matanya terbelalak menatap carport yang terisi oleh mobil Mamanya ntah sejak kapan. Seingatnya carport itu kosong sejak ia duduk dari setengah jam yang lalu. “Terus Mama ngapain pulang? Kan belum jam pulang kerja?” tanyanya kembali menatap Mama yang duduk disampingnya, didepan kaca jendela kamar.
“Mau nemenin kamu nanti ke dokter Feni.”
“Mau naik apa? Motor kan dipake Aten sama Ecen?”
Mamanya tidak langsung menjawab. Seolah paham dengan apa yang akan keluar dari mulut Mamanya selajutnya, Gracia buru-buru menggelengkan kepala.
“Aku ga bisa.”
“Kita belum nyoba."
Gracia menggeleng, “Ga bisa, Ma, lagian aku gapapa kok pergi sendirian naik bus.”
KAMU SEDANG MEMBACA
ELEGI SANDYAKALA (By PERDANA X ERDAM)
Fanfiction"Kamu gak usah sok tau deh, yang tau perasaan aku ya aku." "Yaudah kalau gitu coba kamu kasih tau aku kenapa kamu ga bahagia, apa yang hilang dari diri kamu." "Udah aku bilang aku ga tau! pokoknya yang aku tau aku ga bahagia." "Gre, kamu aneh." ...