Gracia dan Shani berdebat alot di halte bus di depan komplek Gracia. Perdebatan itu didasari oleh Gracia yang berniat melewati jadwal konseling, agar bisa ikut dengan Shani yang akan kelas pottery dengan jam yang sama. Shani tentu melarang keras ide tersebut karena sesi konseling lebih penting daripada kelas pottery. Sebagai gantinya, ia mengatakan untuk melewati kelas pottery dan menemani Gracia konseling. Namun Gracia juga tidak menerima ide Shani, seperti Shani yang tidak menerima idenya.
“Kan aku penasaran pengen liat.”
“Kan minggu kemaren udah liat.”
Minggu lalu, Gracia memang ikut Shani kelas pottery ketika Shani mengatakan ia harus kelas terlebih dahulu sebelum mereka mengunjungi area di tengah kota yang dipenuhi oleh toko-toko dessert. Awalnya Shani ragu untuk mengiyakan keinginan Gracia yang akan menemaninya kelas, bukan apa, Shani takut Gracia bosan karena harus menunggu selama dua jam. Namun ketakutan Shani tidak menjadi kenyataan. Gracia tidak menunjukkan tanda-tanda bosan sedikit pun, dia sibuk menatap clay yang berubah-ubah bentuk, sibuk bertanya, dan sibuk memuji apa yang Shani lakukan. Kehadiran Gracia malah menjadi suatu hiburan.
“Tapi kan aku penasaran kamu bakal bikin apalagi hari ini, kamu bilang tiap pertemuan bakal beda bendanya.”
Shani menghela nafas, sedikit menyesal sudah mengatakan bahwa tiap pertemuan benda yang dibuat tidak akan sama dengan pertemuan sebelumnya, “Masa kamu lebih mentingin ngeliat clay berubah jadi sesuatu daripada diri kamu sendiri?”
“Masa kamu lebih mentingin nemenin aku konseling daripada ikut kelas?”
Shani tersenyum geli, “Jelas pentingan konseling kamu lah emang.”
“Pokoknya kalo kamu bolos kelas aku juga mau bolos.” Gracia tetap ngotot.
“Yaudah, kalo gitu aku kelas, kamu konseling, kita pisah di sini.”
Penawaran Shani membuat Gracia memajukan bibir bawahnya. Bukan seperti itu yang Gracia inginkan. Bukan berpisah dan jalan sendiri-sendiri yang jadi jalan keluar. Ide tersebut malah jauh lebih buruk dari dua ide lainnya, “Ih parah banget, udah ga mau main sama aku lagi ya makanya mau pergi sendiri?”
Shani tertawa, merasa gemas dengan ekspresi dan drama Gracia, “Biar kamu ga bolos, jadi mendingan ngerjain jadwal masing-masing.”
Bibir Gracia benar-benar manyun. Bahunya merosot. Kepalanya menunduk. Sebelah kakinya yang terbungkus Air Jordan ungu sibuk menendang-nendang batu-batu kecil yang hampir tidak tampak di mata.
“Gimana?” Shani menunggu jawaban Gracia.
Dari kejauhan bus yang memiliki rute ke arah Rumah Sakit sudah tampak. Gracia berpikir keras mencari kata apa lagi yang harus diucapkan agar keinginanya terkabul.
Tidak ada.
Gracia kehabisan kata-kata. Cara terakhir yang ia pakai sebelum bus sampai di depan mereka adalah menatap Shani sorot memelas dan meminta dengan sangat.
“Buruan Gre, jawab.” Shani mendesak. Bus perlahan menghentikan lajunya di depan mereka. Tatapan memelas Gracia tidak membuatnya luluh sama sekali.
Bukannya memberikan jawaban, Gracia malah beranjak sambil mendengus, melangkah masuk ke dalam bus. Tampak ada kekesalan di wajahnya yang tertekuk, “Kamu tau ga kalo kamu kadang nyebelin?”
Tepat di belakang Gracia, Shani mengekor sambil tertawa, “Gracia jangan marah-marah dong.” Shani menekan-nekan sebelah pipi Gracia menggunakan telunjuk. Walau Gracia tidak mengutarakan jawabannya, Shani menganggap Gracia memilih ide untuk tetap ditemani konseling, bukan jalan sendiri-sendiri.
-----
Dokter Feni menatap heran ke arah Shani yang duduk di kursi ruang tunggu di depan ruangannya. Seingatnya hari ini bukan jadwal konseling Shani, dan Shani tidak pernah datang ke sini jika bukan ada jadwal konseling atau group therapy. “Loh, Shan? Ngapain?”
Shani dan Gracia kompak mengangkat pandangan dari layar ponsel masing-masing. Shani bahkan langsung berdiri, memeluk dokter Feni sambil tersenyum sebagai sapaannya seperti biasa. Gracia melihat interaksi itu dalam diam. Dari sikap Shani, Gracia bisa menebak Shani cukup dekat dengan dokter Feni atau Shani sudah lama menjadi pasien dokter Feni.
“Aku nemenin Gracia, dok.”
Dokter Feni tampak sedikit terkejut, dua alisnya terangkat. Pandangannya beralih menatap Shani dan Gracia yang masih duduk, secara bergantian, “Kalian baru temenan atau udah lama kenal?”
“Baru, dok.” Gracia berdiri.
Dokter Feni mengangguk. Kedekatan yang terjadi sesama anggota group therapy memang kerap terjadi. “Yaudah Shan, kita masuk dulu ya,” dokter Feni tersenyum ramah ke Shani, “eh atau Gracia mau ngajakin Shani masuk ke dalam juga?” tanyanya langsung menatap ke Gracia. Tersadar bahwa bisa saja Gracia meminta Shani menemaninya sampai dalam, dan ucapan pamit tadi tidak perlu dilakukan.
Gracia tidak langsung menjawab. Dia tampak terkejut mendengar pertanyaan dokter Feni yang tiba-tiba. Untungnya Shani yang bisa membaca wajah bingung Gracia langsung buka suara, “Engga dok, Gracia biar masuk sendiri aja.”
“Yaudah, kita masuk ya, Shan.”
Gracia menatap Shani sebentar sebelum mengikuti dokter Feni. Mendadak perasaannya dihampiri banyak perasaan tidak enak.
“Apa?” Shani balas menatap dengan bingung karena Gracia malah bergeming di hadapannya.
“Tungguin ya.” Permintaan itu diucapkan Gracia dengan amat pelan.
Shani mengangguk, sorot matanya menatap Gracia hangat, “Iya.”
Dengan langkah gamang Gracia meninggalkan Shani, melangkah masuk ke ruangan dokter Feni. Saat pintu di belakangnya dia tutup, Gracia diam sejenak, menarik nafas, berusaha menenangkan diri.
-----
Dokter Feni tidak melepaskan pandangan barang sedetik dari Gracia yang duduk di sofa beludru berwarna pink soft di depannya. Telinga dokter Feni pun mendengarkan dengan baik semua cerita Gracia, yang sejak awal mulai lebih banyak bercerita mengenai Shani. Mulai dari bagaimana Shani mengajaknya berkenalan, Shani yang punya kisah traumatis yang sama dengannya, Shani yang mengajaknya menghabiskan waktu keluar rumah untuk mengunjungi banyak tempat, Shani yang selalu menelfon sebelum dan sesudah bertemu, hingga apa-apa saja yang ia lakukan bersama Shani semua ia ceritakan.
Dokter Feni menanggapi tiap cerita tersebut, tertawa pada bagian Gracia yang menganggap Shani kadang menyebalkan, bertanya dengan rasa penasaran pada bagian kegiatan-kegiatan yang Gracia dan Shani lakukan, dan tersenyum lembut pada saat Gracia mengatakan bahwa kini dia sudah punya satu orang yang dia hubungi ketika dia terbangun karena mimpi buruk pukul tiga malam.
Fokus dokter Feni lebih dari apa yang Gracia ceritakan. Dokter Feni memperhatikan bagaimana sikap tubuh, ekspresi, bahkan sorot mata Gracia. Semuanya berbeda jauh dari terakhir kali konseling pribadi Gracia.
Gracia sebelum bertemu Shani akan duduk di sofa beludru dengan tegang, hanya akan mengatakan sesuatu jika ditanya, ucapannya pun benar-benar sebatas jawaban untuk pertanyaan yang diajukan, bukan sebuah cerita seperti sekarang. Nada suaranya lebih sering datar, jika berubah maka berubah menjadi sedih atau sinis. Sorot matanya redup dan gelap, tidak menunjukkan kehidupan sama sekali. Kini lihatlah, Gracia duduk bersandar dengan santai sambil bercerita. Ada nada semangat didalam ceritanya, kekesalan, pun kebahagian. Sorot matanya berbinar, bahkan ikut tersenyum saat sang pemilik tersenyum.
Dokter Feni tidak tahu bagaimana tepatnya sikap Shani terhadap Gracia selain dari cerita Gracia barusan, namun dokter Feni menganggap bonding diantara keduanya sangat kuat walau kedekatan terjadi dalam hitungan minggu. Bagi dokter Feni saat ini, sebaik-baiknya pengobatan dan terapi yang dilakukan terhadap Gracia, ‘obat’ paling mujarab ternyata adalah kehadiran Shani. Datangnya Shani bukan hanya memberikan angin segar. Shani memberikan warna di tengah hitam yang menyelimuti, menghidupi cahaya yang telah lama padam. Shani menghidupi kehidupan yang hampir mati.
Sesi konseling diakhiri dengan beberapa pujian dan masukan dari dokter Feni. Kali ini, masukannya tidak terlalu banyak seperti konseling-konseling sebelumnya, malah lebih banyak pujian karena kemajuan yang dialami Gracia.
“Saya harap kalian bisa terus berteman dengan baik kedepannya,” dokter Feni ikut berdiri. Dia memeluk Gracia sambil menepuk pelan punggung Gracia beberapa kali.
“Makasih ya, dok.”
Dengan langkah yang sama, Gracia dan dokter Feni keluar ruangan, menemui Shani yang menunggu dengan sabar.
“Yuk.” Gracia menepuk pundak Shani.
“Udah?” Shani sedikit terkejut.
Gracia mengangguk sebagai jawaban.
“See you di group therapy ya Shani, Gracia,” ucap dokter Feni.
Shani dan Gracia mengangguk lagi sebelum akhirnya mereka melambaikan tangan, dan pergi.
Dokter Feni memasukkan dua tangannya kedalam kantong jas putih yang dia kenakan. Matanya mengikuti pergerakan dua pasiennya yang kini berhenti di depan gerai kopi, di dekat pintu masuk. Dia memperhatikan interaksi keduanya dari awal memesan, mengantri, kembali melangkah dengan pesanan masing-masing, kemudian berbelok ke arah kanan di depan pintu keluar, tanda keduanya tidak langsung pulang dan akan menuju taman.
Dokter Feni kembali ke dalam ruangan, dia menuju ke salah satu kaca jendela besar yang ada di belakang meja kerjannya, menarik tali gorden roller blind hingga kainnya tergulung setengah, duduk di kursi kerja, lalu memutarnya menghadap ke arah taman, menunggu Shani dan Gracia.
Tak berapa lama, Shani dan Gracia muncul. Dua orang itu duduk di salah satu bench yang membelakangi ruangan dokter Feni. Mereka tidak akan bisa melihat dokter Feni yang tengah melihat ke arah mereka karena kaca jendela dokter Feni yang one way.
-----
Gracia memperhatikan Shani yang menengadah dengan mata terpejam, “Aku kira kamu tidur,” Gracia langsung mengalihkan pandangan begitu dua mata Shani kembali terbuka.
Shani tertawa, es kopinya ia letakkan di samping paha, “Gimana konseling kamu sama dokter Feni?”
“Biasa aja.”
“Cerita tentang apa?”
“Kamu.” Gracia menatap Shani dengan ekspresi datar, “Aku bilang ke dokter Feni kamu nyebelin karena ga mau ngajakin aku main lagi.” Tentu ucapan itu adalah kebohongan. Apa yang dia sampaikan ke dokter Feni adalah sebaliknya, namun dia tidak akan mengatakan hal tersebut ke Shani.
Gelak tawa Shani memenuhi taman, “Ya ampun, masih aja soal tadi, Gre?”
“Aku tuh padahal udah semangat tadi malem mau ngeliat kamu kelas pottery lagi, eh malah diajakin kesini, padahal konseling kan bisa diubah jadwalnya, tapi kelas kamu ga bisa.”
Shani berusaha menahan tawanya yang kembali hampir pecah mendengar penuturan Gracia yang terdengar amat sedih. Belum lagi wajah Gracia kembali cemberut persis seperti saat di halte tadi, benar-benar membuat Shani ingin tertawa karena merasa gemas, “Yaudah yaudah kita ke kelas pottery sekarang.” Shani berdiri. Sebelah tangannya memegang tangan Gracia.
“Emang bisa? Kan udah selesai?” Gracia mendongak.
“Ya ga bisa dan emang udah selesai.”
Dahi Gracia mengkerut, tidak mengerti, “Terus ngapain kalo ga bisa?”
“Kita gedor-gedor pintunya minta bukain, terus kita kelas sendiri,” Shani menunduk mengambil es kopinya, tampak sangat serius dengan ide yang dia canangkan sendiri, “ayo buruan, kenapa masih duduk?”
Ganti Gracia yang tertawa. Dia menarik tangannya yang dipegang Shani, “Ga jelas banget sumpah.”
Shani tersenyum, merasa senang mendengar tawa Gracia. Dia kembali duduk ditempatnya semula, “Apa perlu aku telfon yang punya buat minta kelas tambahan malam ini?”
“Emang bisa?” Gracia bertanya polos.
Dengan santainya Shani menggelengkan kepala, “Ga bisa dong. Lagian buat apa juga minta kelas tambahan? Emang aku mau jadi ahli potter sampe minta kelas tambahan malem-malem?”
“Buat apa nanya?”
“Kali aja kamu beneran mau karena masih semangat buat dateng ke kelas pottery aku.”
“Emang masih mau.”
Mata Shani mengerjap pelan menatap Gracia, tidak percaya Gracia se-semangat itu untuk sebuah kelas pottery, “Aku ga punya nomor yang punya,” aku Shani kemudian, “lagian kenapa sih semangat banget? Kan yang kelas aku, kamu cuma ngeliatin doang.”
Gracia mengalihkan pandangan, mendongak menatap langit. Tiba-tiba ia ikut mempertanyakan hal itu ke dirinya sendiri.
“Kalo cuma karena pengen liat aku kan ga penting kegiatannya apa.” Shani mengucapkan pemikirannya dengan percaya diri.
Gracia tidak menjawab. Dia mengulang jawaban Shani didalam benak dan hati. Bertanya apakah memang hanya kehadiran Shani yang dia butuhkan atau memang perlu ada kegiatan yang dilakukan karena hal itu bisa menjadi pengalih pikiran.
“Kalo emang pengen liat clay muter-muter, minggu depan kita kelas deh,” lanjut Shani akhirnya, merasa tidak tega karena Gracia masih diam.
“Terserah deh mau ngapain kalo gitu.”
Gracia setuju atas pernyataan pertama Shani. Ini bukan perkara apa yang dilakukan. Kegiatan yang mereka kerjakan memang selalu mengasyikan, mampu membunuh waktu, dan selalu menghadirkan gelak tawa, namun Gracia yakin jika tidak ada Shani maka kegiatan itu tidak akan se-menyenangkan itu.
“Tuh kan, kamu tuh emang mau liat aku doang, bukan mau liat aku ngebentuk clay.” Shani bertepuk tangan sambil tertawa.
Gracia ikut tertawa, kepalanya menggeleng, “Paling pe-de se dunia, Shani Indira.”
“Gapapa Gre, akuin aja.” Shani menyenggol pelan pundak Gracia, wajahnya tersenyum jahil.
“Iya deh iya.” Gracia mengucapkan pengakuannya sambil tertawa. Ada gengsi yang ia turunkan serendah-rendahnya demi Shani.
“Gitu doang, ngaku.” Shani mengacungkan jempol kanannya ke hadapan Gracia, sementara tangan lainnya merangkul Gracia erat.
Tawa keduanya memenuhi taman belakang ruangan dokter Feni, menambah indahnya petang menjelang malam disana.
-----
Dokter Feni menatap punggung Shani dan Gracia yang duduk membelakanginya. Punggung itu, jika dilihat secara terpisah, tampak begitu rapuh, hampa, dan membawa banyak luka. Shani dengan lukanya sendiri, dan Gracia juga dengan lukanya sendiri. Namun, jika dilihat secara bersamaan, yang tampak adalah ketegaran.
Sinar senja yang tadi menyinari Shani dan Gracia hilang, berganti dengan cahaya lampu-lampu taman. Shani dan Gracia berdiri membawa gelas kopi masing-masing yang sudah kosong, beranjak dari bench, lalu meninggalkan taman. Ntah apa yang mereka bicarakan sembari melangkah, yang jelas wajah samping keduanya sama-sama memancarkan senyuman manis yang mau tidak mau membuat dokter Feni ikut tersenyum di kursinya.
-----
Hujan turun tepat saat Shani dan Gracia memasuki salah satu restoran jepang tidak jauh dari rumah sakit untuk makan malam sebelum pulang. Awalnya Gracia biasa saja sebelum akhirnya menyadari hujan yang turun lama-lama menjadi amat deras, dan berapa kali disertai suara gemuruh. Gracia menjadi tidak tenang, saat pesanannya disajikan, ia tidak langsung makan, malah sibuk memandang ke arah luar. Shani yang duduk didepan Gracia ikut memandang keluar, mengikuti arah pandangan Gracia.
“Makan dulu, Gre.” Shani menepuk pelan punggung tangan Gracia.
Gracia terperanjat, “Ha?”
“Makan dulu,” ulang Shani.
Gracia mengambil sumpit di sebelah mangkuk ramennya, namun bukannya memasukkan ramen itu ke dalam mulut, yang Gracia lakukan hanya memutar-mutar mie ramen di dalam mangkuk, “Kita pulangnya gimana?”
“Makan dulu baru mikirin pulang.”
Gracia menurut. Dia mulai menyumpit mie ramen ke dalam mulut dengan pikiran yang tidak tenang.
Dalam setiap gemuruh yang menggelegar, dalam tiap guyuran hujan yang turun makin deras, kekhawatiran Gracia meningkat.
Shani menarik selembar tisu dari kotak kayu di pinggir meja. Dia membersihkan mulutnya, kemudian menepuk kembali tangan Gracia, “Kenapa deh kamu?” Wajah panik dan khawatir Gracia tidak bisa ia abaikan.
Gracia langsung meletakkan sumpit, “Kita pulangnya gimana?” kembali pertanyaan itu dia lontarkan karena tadi belum mendapatkan jawaban.
“Naik bus kan?”
“Gimana caranya ke halte ujan deres kayak gini?”
“Tunggu reda.”
“Kalo ga reda sampe jam operasional bus gimana?”
Shani diam. Dia melirik arloji di pergelangan tangan kirinya. Kurang dari satu jam lagi jam operasional bus berhenti. Pandangannya kembali beralih ke luar restoran. Dengan hujan sederas ini, dia ragu hujan akan reda dalam waktu kurang dari satu jam.
“Mau nunggu disini sendirian ga?” Shani sudah tidak berminat melanjutkan makannya lagi.
“Kamu mau kemana?”
“Ke minimarket seberang beli payung.”
“Kamu pake apa kesana? Kan ujan.”
“Pinjem payung disini, siapa tau ada. Kamu nunggu disini sendirian gapapa?”
Gracia menggeleng, “Ga mau.”
“Ga mau ya? Yaudah bareng-bareng.” Shani tidak bisa menolak karena sejujurnya dia pun tidak tega meninggalkan Gracia sendirian.
“Kalo restonya ga punya payung gimana?” Gracia menanyakan kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi.
Shani menggeleng, mereka menuju meja kasir untuk membayar makanan sekaligus meminjam payung, “Mas, ada payung yang bisa dipinjem ga ya?” tanya Shani langsung sambil menyerahkan dua lembar uang berwarna merah.
Petugas kasir yang dibalut kemeja hitam dengan lengan yang tergulung hingga setengah menerima uang dari Shani, “Ada Mba, tapi cuma satu.”
“Gapapa Mas, boleh pinjem bentar kan? Kita mau ke minimarket seberang.”
Petugas kasir mengangguk, tangannya secara cepat menyelesaikan pembayaran Shani hingga kertas struk keluar dari alat di samping layar komputer, “Sebentar saya ambilin dulu, Mba,” ucapnya seraya menyerahkan beberapa lembar uang kembalian beserta struk ke Shani lalu meninggalkan meja kasir.
Tidak sampai dua menit, petugas kasir kembali dengan payung cukup besar di tangan, “Ini Mba, nanti kalo udah selesai, masukin ke dalam kotak di depan pintu masuk aja.”
Shani mengangguk, “Makasih Mas, kita pinjem ya.”
“Makasih Mas,” susul Gracia ikut mengucapkan terima kasih.
-----
Di tengah lengangnya jalanan, di bawah payung berwarna hitam, Shani dan Gracia berjalan membelah hujan. Shani melingkarkan sebelah lengannya di pundak Gracia, sementara Gracia melingkarkan tangannya di pinggang belakang Shani. Pundak keduanya saling menempel meniadakan jarak. Mereka melakukan itu agar membuat masing-masing tetap berada di dalam jangkauan payung dan tidak terkena hujan.
Untungnya jarak antara restoran dan minimarket tidak terlalu jauh. Mereka hanya perlu menyebrang jalan, lalu berjalan melewati dua bangunan kosong untuk bisa tiba disana. Shani menurunkan payung yang mereka kenakan, menutupnya lalu melangkah mengekor di belakang Gracia yang berjalan lebih masuk lebih dulu.
“Dingin banget,” Gracia melipat dua lengannya di depan dada begitu disambut hawa pendingin ruangan minimarket.
“Kanan, Gre.” Shani mengomandoi dari belakang arah jalan Gracia untuk menuju rak penjualan payung.
Gracia berbelok sesuai arahan. Dua buah payung langsung tampak di pandangan. Benar-benar hanya tersisa dua buah. Dia mengambil dua-duanya lalu berjalan kembali menuju meja kasir. Gracia mengira Shani masih ada di belakangnya, dia terkejut ketika menoleh setelah selesai melakukan pembayaran dan di belakangnya tidak ada siapa-siapa.
“Kamu kemana?” tanyanya langsung begitu Shani muncul.
Shani menggelengkan kepala menghampiri Gracia, “Ga dari mana-mana. Udah?”
“Udah.” Gracia menyerahkan satu payung kepada Shani.
Sebelum menuju halte, mereka berjalan kembali ke restoran untuk mengembalikan payung yang tadi mereka pinjam.
-----
Hujan ternyata turun dengan merata. Sepanjang perjalanan yang dilalui oleh bus yang membawa Shani dan Gracia tidak ada satupun yang tidak hujan. Jalanan menjadi sangat lengang dimana-mana.
“Gre, ntar kamu gimana jalan pulang ke rumah dari halte?” Shani tiba-tiba membayangkan Gracia berjalan sendirian ditengah derasnya hujan.
“Aku minta Papa jemput di halte.”
Ada kelegaan yang Shani rasakan begitu tau Gracia tidak pulang sendirian seperti yang selama ini ia lakukan.
“Maaf ya.”
Sebuah permintaan maaf tiba-tiba keluar dari mulut Gracia. Kepalanya menunduk menatap sepatunya dan sepatu Shani yang basah.
“Kenapa?”
Gracia mengangkat pandangan, matanya kini tertuju pada pundak kanan Shani yang sedikit basah terkena hujan. Bagaimanapun rapatnya tadi mereka berjalan di bawah satu payung yang sama, pundak mereka yang berada di bagian luar tetap terkena hujan juga, “Gara-gara aku kamu jadinya basah kena ujan, padahal kamu kan bisa pulang naik taksi ga perlu sibuk nyari payung, ga perlu naik bus kayak gini juga.
“Ih apaan, gapapa kali.” Shani mengalungkan dua lengannya di leher Gracia.
“Aku beneran minta maaf karena ga bisa naik mobil.”
“Gapapa, Gracia.”
Gracia menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. Perasaan khawatir yang tadi ia rasakan kini berganti menjadi perasaan bersalah terhadap Shani.
Shani melepaskan tangannya dari leher Gracia, dia duduk bersandar membelakangi kaca jendela bus, “Aku pernah ngerasain apa yang kamu rasain,” Shani mengingatkan kembali keadaannya kepada Gracia takut-takut jika Gracia lupa, “buat apa minta maaf? Kita kan berbagi luka yang sama, aku paham rasanya.”
Gracia diam.
“Ketika orang peduli, dia bakal ngelakuin apa aja, jangan ngerasa beban nerimanya.”
Gracia mulai merasakan dua matanya panas.
“Satu lagi Gre-“ Shani menyentuh lengan Gracia, “-jangan pernah minta maaf untuk trauma yang kamu alamin.”
Tetes pertama air mata Gracia jatuh membasahi tangannya yang ada di atas paha. Pertahanannya hancur mendengar kalimat barusan. Air mata Gracia berubah bak riak anak sungai di pipi begitu Shani membawanya ke pelukan dan kembali mengucapkan kalimat yang membuatnya makin terenyuh.
“Ini sesuatu yang ga kamu minta, ga kamu sangka, jangan ngerasa bersalah.”
Suasana bus yang hanya diisi oleh mereka berdua dan satu sopir, tidak membuat Gracia mengeluarkan suara dalam tangisnya. Dia memilih menangis dalam diam, walau tau rasa sakitnya makin bertambah karena rasa sesak yang amat sangat.
-----
Bus tiba di halte tujuan Gracia. Disana sudah ada sang Papa menunggu seorang diri.
“Hati-hati Gre, salam sama Papa kamu.”
Gracia mengangguk, dia menyeka dua matanya sebelum berdiri, takut-takut ada sisa air mata dan mengundang pertanyaan Papanya, “Kamu juga hati-hati, ntar kalo udah sampe kabarin aku.”
Shani mengangguk. Dia memberikan pelukan singkat kepada Gracia sebelum Gracia turun sambil melambaikan tangan.
Bus kembali melaju di tengah malam yang tampaknya akan terus diguyur hujan. Shani menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Dua matanya terpejam, lalu kembali terbuka menatap jalanan di luar yang tidak tampak jelas karena kaca bus yang basah oleh hujan. Shani lalu bernyanyi namun tidak lewat mulut, dia bernyanyi di dalam benaknya, menyenandungkan lagu Umbrella milik Rihana.
Now that it's raining more than ever
Know that we'll still have each other-----
Terimakasih sudah membaca, memberi vote, dan meninggalkan komentar 🖤💜
-c
KAMU SEDANG MEMBACA
ELEGI SANDYAKALA (By PERDANA X ERDAM)
Fanfiction"Kamu gak usah sok tau deh, yang tau perasaan aku ya aku." "Yaudah kalau gitu coba kamu kasih tau aku kenapa kamu ga bahagia, apa yang hilang dari diri kamu." "Udah aku bilang aku ga tau! pokoknya yang aku tau aku ga bahagia." "Gre, kamu aneh." ...