Pertama kali masuk kampus setelah satu semester mengikuti pertukaran mahasiswa, Hadrian mendapatkan kelas pagi. Pukul delapan lebih lima belas menit, ia sudah sampai di pelantaran Fakultas Psikologi tempatnya studi.
Kelasnya masih jam sembilan nanti, tapi Hadrian berangkat lebih awal untuk berjalan-jalan, kangen juga dengan kampus dan suasananya. Beberapa mahasiswa yang mengenal Hadrian menyapa dan menanyakan kabarnya. Ada pula yang menghentikan langkahnya untuk mengobrol dan bercanda.
Sebagai mahasiswa tingkat empat, ia memang dikenal memiliki banyak koneksi dan kenalan dari banyak kalangan. Entah dari mahasiswa, dosen, bahkan penjaga kantin pun mengenal Hadrian layaknya teman.
Selesai dengan acara berjalan-jalannya, Hadrian memasuki kelas yang masih sepi. Hanya ada beberapa orang di dalamnya. Hadrian menyapa dengan riang.
"EYOO!WASSUP GUYS! I’M HOME!"
“BERISIK BODOH! INI KAMPUS BUKAN RUMAH LO, SANA BALIK!” Teriak salah satu laki-laki di kelas, Deon namanya. Yang menjadi teman Hadrian sejak OSPEK dulu.
“Aa’ Deon nggak kangen aku apa? Belahan jiwamu ini telah kembali dari perantauannya.” Hadrian berjalan mendekati Deon di bangkunya. Meletakkan tasnya di samping bangku sang teman.
“Bodo amat ya. Mending lo balik merantau sana gih. Fakultas ini tenteram lo nggak ada di sini.” Ujar Deon pedas.
“Dih, tega! Aku nggak suka, ya!” Masih mempertahankan raut wajah tersakiti, Hadrian berkata dengan jahilnya.
Deon yang sedari tadi menulis meletakkan bolpoin cairnya keras. “Lo nggak malu apa ada anak baru di sini. Eh, lupa kalau urat malu lo udah putus.”
Hadrian membulatkan matanya, “Eh, ada anak baru? Mana, dah? Kok gue nggak sadar?”
"Itu dia paling pojok duduknya. Heran dari awal masuk di pojokan mulu, nggak ngantuk apa, ya?”
Hadrian menoleh ke arah yang dimaksud. Ada seorang laki-laki memakai hoodie hingga menutupi wajahnya. Terlihat menunduk entah melakukan apa. Tidak peduli dengan kebisingan di sekitarnya.
Kemudian Hadrian menoleh kembali ke Deon. “Ululu, Aa’ Deon cerewet banget, peduli ya?”
“Hadrian edan!” umpatnya yang tak bisa dibilang pelan.
Hadrian terkekeh mendengarnya. “Baru tahu? Kasihan.”
Hening kemudian. Tak lama, beberapa mahasiswa masuk ke dalam kelas. Sedikit terkejut dengan adanya Hadrian di kelas mereka. Kemudian menyapa dan menanyakan kabar. Mereka duduk di bangku yang disediakan.
Hadrian mengeluarkan alat tulis dan Ipad-nya. Widihh, Ipad dong. Jangan salah, Hadrian adalah penganut prinsip : Pelajaran nggak bisa boleh, tapi gaptek jangan.
Menurutnya, handal teknologi itu salah satu hal paling penting, apalagi kondisi finansial keluarganya mendukung . Di dunia Revolusi Industri 4.0 seperti ini, gaptek adalah jalan tercepat untuk mempersulit hidup. Dan akan sangat fatal jika tidak mau mempelajarinya. Apa rahasia negara maju? Tentu saja salah satunya teknologi. Bahkan teknologi menjadi bagian dari ilmu pengetahuan itu sendiri.
Ilmu pengetahuan menciptakan teknologi, dan teknologi juga menciptaka pengetahuan. Dan akan terus seperti itu. Artinya? Tidak ada teknologi tidak akan ada pengetahuan baru. Dan manusia akan tetap stuck di sana. Sampai mau mengerti dan mencoba membuat hal baru.
Deon menepuk lengan Hadrian pelan. Hadrian menoleh seolah bertanya: “kenapa?”Deon menunjuk ke arah pojokan, tempat duduk mahasiswa baru di kelasnya. “Lo nggak nyapa dia? Tumben,”
“Gue mau sih, Cuma waktunya lagi nggak tepat. Mungkin nanti pas kelas selesai.”
KAMU SEDANG MEMBACA
ESP
Teen Fiction"Extrasensory Perception" atau Indra Keenam Tidak dapat disetujui maupun dibantah karena topik fenomenal ini memiliki latar belakang logis dan telah diuji dengan metode ilmiah yang dapat membuktikan argumen pro dan kontra. Ini menjadi pilihan masyar...